Kumpulan cerpen RSK terdiri dari
sepuluh cerpen. Kesepuluh cerpen tersebut menampilkan realitas jiwa yang
berbeda-beda. Namun dalam pembahasa ini saya hanya membahas empat cerpen saja.
Cerpen yang pertama
“Robohnya Surau Kami” pergolakan jiwa ini didominasi oleh tokoh kakek seorang
garin, penjaga masjid. Tokoh kakek digambarkan seorang yang taat beribadah. Hampir seluruh waktu
hidupnya hanya digunakan untuk menyembah dan bersujud kepada Tuhan. Tidak ada
lain. Kakek tidak bekerja, tidak pernah memikirkan anak dan istrinya. Kakek
berharap dengan beribadah terus menerus ia akan mendapatkan surga di alam
akherat. Tapi apa yang terjadi pergolakan jiwa dimulai ketika Ajo sidi membual,
ia menceritakan dialog antara manusia yang
ada di neraka dengan Tuhan. Diceritakan bahwa haji saleh dan beberapa
orang temannya harus masuk neraka. Padahal tidak disangsikan lagi bagaimana
Haji saleh dengan taat dan rajinnya menyembah Tuhan. Cerita Ajo sidi ini sangat
menohok batin kakek yang hidupnya memang mirip haji saleh. Ekspresi jiwa kakek
terlibat pada kutipan di bawah ini.
Sekali hari ini aku datang pulang
mengupah kepada kakek. Biasanya kakek gembira menerimaku; karena aku suka
memberinya uang. Tapi sekali ini kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk
dengan lututnya menegak menopanh tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke
deoan, seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk pikirannya.[1]
Kutipan diatas menggambarkan sebuah
perasaan. Perasaan merupakan peristiwa-peristiwa yang umumnya datang dari luar,
yang dapat menimbulkan kegoncangan-kegoncangan pada diri orang yang
bersangkutan.[2]
Perasaan yang dialami kakek adalah
rasa yang tidak senang yang berwujud rasa sedih, duka cita, rasa takut, rasa
gelisah. Peristiwa berhubungan erat dengan peristiwa pengenalan. Perasaan ini
muncul karena kakek mengamati, menanggapi, mengingat-ingat, serta memikirkan
tentang suatu permasalahan.
Kakek terguncang oleh bualan Ajo sidi. Perasaan sedih ini merupakan
reaksi kejiwaan terhadap perangsang yang masuk.
Aku beri kau negeri kaya, tapi kau
malas. Kau lebih suka beribadah saha, karena beribadah tidak mengeluarkan
peluh, tidak membanting tulang. Sedangkan aku menyuruh engkau semuanya beramal
kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja.
Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai malaikat, halaulah mereka ini kembali
ke neraka. Letakkan di keraknya.
Kesalah engkau, karena engkau
terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka , karena itu kau
taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan
kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka kucar-kacir selamanya. Inilah
kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis.
Demikian cerita ajo sidi yang ku dengar
dari kakek. Cerita yang memurungkan kakek.[3]
Kejadian yang dialami kakek ini
begitu membekas ini begitu membekas dalam hatinya. Sebuah kejadian yang begitu
membekas dalam seluruh truktur kepribadian dan peristiwa ini berlangsung
sekejap.[4]
Peristiwa ini sungguh menekankan
batin kakek sehingga seluruh pola perilakunya berubah. Kemudian puncak dari
tekanan batin dan perasaan tak tertahankan ini, dia memutuskan mengakhiri
hidupnya dengan bunuh diri.
Siapa yang meninggal?” tanyaku
kaget.
“kakek.”
“kakek?”
“ya. Tadi subuh kakek kedapatan mati
disuraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggorok lehernya dengan
pisau cukur.”[5]
Motif frustasi yang menjadi alasan
kakek mengakhiri hidupnya dengan buhuh diri. Frustasi merupakan reaksi individu
terhadap kegagalan mengatasinya, terutama jika reaksi negative.[6]
Dilanjutkan
dengan cerpen kedua
“Anak Kebanggan” tidak kalah kuatnya A.A Navis dalam menggambarkan aspek
psikologi para tokoh ceritanya. Diceritakan Ompi sebagai tokoh utama.
Digambarkan Ompi seorang ayah yang
begitu berpengharapan besar pada anak semata wayangnya. Ia berharap anak semata
wayangnya dapat memberikan kebanggan pada dirinya. Ia ingin Indra Budiman
menjadi insinyur atau dokter. Ia berangan-angan dan yakin semua harapannya akan
jadi kenyataan. Ia rela mengorbankan kekayaannya untuk mewujudkan
angan-angannya. Sayang sekali harapan tidak selalu sesuai dengan kenyataan.
Indra pun gagal menjadi dokter. Semua orang tahu itu, namun Ompi tetap tidak
mau menerima kenyataan ini. Ia beranggapan anaknya telah sukses menjadi dokter.
Dalam pengharapan ini tokoh Ompi
menampilkan peristiwa-peristiwa jiwa yang sungguh menarik untuk dicermati.
Masa dan keadaanlah yang
menetukannya. Ompi yakin masa itu pasti akan datang. Dan ia menunggu dengan
hati yang disabar-sabarkan. Pada suatu hari yang gilang gemilang,
angan-angannya pasti merupa pada kenyataan. Dia yakin itu bahwa Indra Budiman
akan mendapatkan nama tambahan dokter dimuka namanya sekarang. Atau salah satu
title yang mentereng lainnya. Ketika ompi mulai mengangangkan nama tambahan
itu, diambilnya kertas dan potlot. Dituliskan nama anaknya, dr. indra budiman.
Dan ompi merasa bahagia sekali. Ia yakinkan kepada para tetangganya akan
cita-citanya yang pasti tercapai itu.[7]
Ompi lupa pada kenyataannya kini.
Perasaan ompi merupakan perasaan yang menjangkau maju, yaitu suatu mengambil
bagian yang tidak nyata dan imajiner dalam kejadian-kejadian yang akan datang.[8]
Harga diri, prestise yang tinggi
sudah tertanam di alam bawah sadarnya.
Harga diri adalah penilaian tentang
nilai diri. Perasaan harga diri yang terlalu berlebihan yang menganggap
dirinya tinggi disebut meedwaargheid complex. Orang yang seperti ini biasanya
menjadi sombong, angkuh. Seperti tokoh ompi.
Ompi merangkai dan memadukan
perasaan masa lalu dengan masa depan. Tanggapan-tanggapan atas masa lalunya
yang gemilang merupakan bahan yang digunakan sebagai fantasi, pengharapan akan
masa depan anaknya yang berupa imajiner yang serba sempurna.
Kesan fantasi dan imaji ini menjadi
pemuasan bagi perasaannya yang tidak mau terikat kepada kenyataan yang
sebenarnya. Tapi begitu kenyataan itu hadir di depan mata, ompi tidak dapat
menerimanya. Ompi begitu lama menunggu surat dari anaknya yang mengabarkan
keberhasilannya. Surat balasan tak pernah di terimanya. Malah surat-surat yang
dikirimnya dikembalikan lagi oleh pak pos.
Pada suatu hari yang tak baik, di
kala ompi sudah mulai putus asa, datanglah pak pos dengan di tangannya
segenggam surat. Maka darah ompi kencang berdebar. Gemetar ia karena bahagia.
Akan tetapi alangkah remuknya hati orang tua itu, karena semua surat-suratnya
itu kembali. ia merasa seperti bermimpi dan tubuhnya serasa seringan kapas yang
melayang ditiup angin. Tapi ia tak meyakininya dengan sungguh-sungguh. Malah ia
coba meyakini dirinya sendiri, bahwa aia sedang bermimpi. Dan berdoalah ia
kepada Tuhan, agar apa yang terjadi itu adalah memang mimpi.[9]
Ompi berusaha mengingkari kenyataan
yang terjadi. Betapa pun ompi berusaha meyakini dirinya. Ompi sebenarnya sadar
bahwa harapannya yang tinggi yang disandarkan pada anaknya hilang tak menjadi
kenyataan. Keadaan ini membuat ompi sakit.
Semenjak itu segalanya jadi tak
baik. Ia jatuh sakit, bahkan sampai mengigau. Dan oleh seleranya patah, ompi
bertambah menderita jua. Lahir dan batin. Kini dalam hidupnya hanya satu hal
yang dinantikannya. Yaitu surat. Surat dari anaknya, Indra Budiman. Seluruh
hidupnya bagai jadi meredup seperti lampu kemersikan sumbu. Dan ia terlentang
di ranjangnya, enggan bergerak. Tapi matanya selalu lebar terbuka memandang
langit-langit kelambu. Mata itu kian hari semakin jadi besar nampaknya oleh
badan yang kiang mengurus. Tapi mata
yang lebar itu tiada cemerlang redup.[10]
Ketika terakhir aku menemui dokter
yang sudah enggan datang. Dokter hanya menggelengkan kepala saja, aku tak mampu
mengobatinya lagi. Carilah dokter lain saja. Atau bawa ia kerumah sakit. Kalau
semua tak mungkin, jangan tinggalkan dia sendirian. Bila perlu, meski dengan
resiko besar, bangunkanlah kembali mahligai angan-angannya.[11]
Ompi mengalami kehilangan kekuatan
fisik yang dipicu oleh hilangnya kegiatan jiwa yang menyebabkan semua system
pertahankan tubuhnya menjadi lemah dan menyebabkan sakit. Pada puncaknya ompi
menghembuskan nafas terakhirnya dengan jiwa yang terhimpit dengan penantian dan
angan-angan.
Cerpen ketiga
“Topi Helm”. peristiwa jiwa dalam cerpen
ini digambarkan oleh tokoh pak kari. Ia seorang tukang rem yang bekerja pada
jalur kereta api padang panjang-kayu tanam. Diceritakan ia mendapatkan topi
helm. Topi ini bukan sembarang topi melainakan topi ini mengandung sebuah makna
yang sangat penting dan berharga bagi dirinya.
Topi ini pemberian dari tuan O.M
atau Gunarso atasannya. Ketika memakai topi helm ini pak kari pun merasa ia
sedang memakai mahkota kerajaan. Tak dihiraukannya teman yang mengoloknya ketika
memakai topi ini.
Pak kari, si tukang rem itu. Ia tak
tega membiarkan topinya kena hujan setitik pun. Betapa bangganya kalau topi itu
di kepalanya, demikian pula besar sayangnya kepada helmnya. Sering ia tersenyum
sendirian bila melihat wajahnya pada kaca pajangan tokoh yang dilewatinya saban
pagi dan pulang kerja. Dan tentu saja tingkah laku pak kari yang
berlebih-lebihan itu menjadi bahan olok-olok oleh kawan sekerja.[12]
Cintanya pada
topi begitu dalam terbukti dengan menjaga topi itu dengan jiwa raganya. Rela
berkorban demi topi itu. Ia meninggalkan gerbongnya demi untuk mengambil topi
yang jatuh ke sungai bawah jembatan. Hal ini menyebabkan atasannya marah besar.
Begitu besar kemarahan sang atasan sampai ia tega melempar topi pak kari ke
dalam api yang menyala. Musnahlah topi itu.
Jawablah.
Kenapa kau tinggalkan gerbongmu ? kata masinis lagi dengan nada yang lebih
tinggi. Topi saya…. Topi saya jatuh. Di…di…dilanggar jembatan, kata pak kari
gagap. Oo, karena topi ini jatuh, kau tinggalkan gerbongmu, he ?[13]
Kasihan sekali, masinis itu
mengulangi kata-katanya seraya menggeleng-gelengkan kepala seperti orang
terharu sangat. Sedangkan lidahnya berdecak-decak. Kena air topi ini basah. Api
bagaimana ? serentak dengan itu dibukanya pintu api lok itu, dan secepat itu
pula dilemparkannya topi helm itu ke dalam api yang sedang menyala. Lalu dia
memandang pada pak kari yang terkejut melihat peristiwa yang tak disangkanya
itu. Ah, topi biasa saja topimu itu, kari. Kena air basah. Kena api hangus
juga.[14]
Kemarahan masinis yang diakhiri
dengan membakar topi kebanggaan menggugah emosi pak kari. Emosi ini ditadai dengan reaksi terkejut. Terkejut
merupakan reaksi sesaat yang timbul pada kejadian-kejadian yang tidak disangka.[15]
Pak kari yang kekuyupan pada pagi
hari di lembah pegunungan itu, tidak merasa dingin lagi dengan tiba-tiba. Ia
merasa begitu panasnya oleh bakaran api
di dalam dadanya. Perbuatan memanggang topi helmnya itu tidak dapat dimaafkan
begitu saja. Tapi ketika itu ia tidak tahu bagaimana melampiaskan sakit hatinya.
Maka ia diam saja, seperti biasa ia menunjukan kesabarannya yang terkenal itu.[16]
Tapi kesabaran ada batasnya. Ketika
timbul pemicu, marah, sakit hati, dendam yang terpendam akhirnya pecah. Pak
kari balas dendam pada masinis yang telah membakar topi helmnya dulu. Ia
melempar muka masinis dengan arang panas sehingga masinis menjadi buta.
Demi ia ingat topi helmnya lagi,
yang telah terbakar habis oleh api dalam tungku di lambung lok yag lagi
dibersihkannya itu mulailah lagi suatu nyala membakar hati dan pikirannya.
Yaitu api dendam yang takkan pernah terpadamkan sebelum terbalas dengan lunas
tiba-tiba ia ingin membalasnya sekarang. Sekarang juga.[17]
Jika ditelusuri mengapa pak kari
begitu menyayangi topi helmnya adalah sebuah peristiwa yang terjadi antara ia
dan nyonya Gunarso. Perasaan menyenangkan dan indah. Peristiwa ini juga
meninggikan harga diri pak kari. Topi helm itu adalah simbol harga diri pak
kari.
Dan topi helm itu, tapi yang
diberikan tuan om kepadanya di kala hendak berpisah dulu, dirasakannya sebagai
suatu perlambang yang bermakna abadi bagi hubungannya dengan nyonya gunarso,
hubungan yang tersembunyi, yang begitu indah bila dikenang.[18]
Cerpen keempat
“Datang dan Perginya”. Menggambarkan peristiwa jiwa rasa bersalah. Rasa
bersalah yang dialami oleh tokoh ayah. Seorang ayah yang telah berbuat salah
pada anaknya Masri. Rasa salah merupakan emosi yang umum seperti cinta dan
dapat merusak seperti rasa benci.[19]
Tokoh ayah dalam cerpen ini
sepanjang hidupnya selalu dibayangi oleh rasa bersalahnya. Meski setelah ia
bertobat dari perbuatannya yang selalu mencari perempuan jalang. Perempuan ini
lah yang menjadi pertengkaran dengan anaknya Masri. Setelah bertahun-tahun
berlalu. Ia menyesal dalam kesendirian. Rasa bersalah timbul karena seseorang
telah melakukan perbuatan keliru.
Tokoh ayah ia menebus rasa
bersalahnya dengan menahan kerinduan dengan anak dan cucunya. Meski ia telah
berkali-kali diundang Masri untuk datang ke rumahnya.
Si anak ingin melihat dengan mata
kepala sendiri; benarkah ayahnya seperti yang dikatakan teman-temannya. Dan si
anak mengintip.
Kehadiran Masri menjadi olok-olok
perempuan yang dibayarnya. Dan ia merasa terhina dan marah sekali. Tapi si
amaklah yang menjadi sasaran marahnya. Di tamparnya sekuat-kuatnya. Namun si
anak diam dalam kesakitan dibiarkannya ayahnya berbuat sesuka hatinya.
Ku ajar kau. Bikin malu. Ayo, pergi.
Kau bukan anakku lagi.[20]
Tentu aku ayah yang salah. Jahat.
Kalau aku piker-pikir, kini Masri aku merasa kau telanjangi bila aku bertemu
kau nanti. Aku memang ayah yang tak baik.[21]
Jawaban dari rasa bersalah adalah
permohonan maaf kepada orang yang telah disakiti tentu saja setelah ada proses
pertobatan kepada Tuhan. Rasa salah yang mengndap dalam jiwa akan menimbulkan
beban berat. Kata maaf sesuatu yang mudah diucapkan tapi sulit untuk dilakukan.
Akhirnya ayah melakukan hal ini,
setelah beberapa kali anaknya Masri mengirim surat mengundang ayahnya untuk
datang ke rumahnya menengok menantu dan cucunya. Malu yang melingkupi perasaan
ayah lambat laun pun sirna. Ia akhirnya memutuskan untuk datang ke rumah
anaknya dan meminta maaf.
Sifat-sifatku yang tinggi hati, karena malu minta maaf kepada orang
yang lebih muda. Aku insaf sekarang, kesombongan itulah yang menghancurkan
kehidupanku selama ini.[22]
Simpulan
Terlihat dalam cerpen-cerpennya A.A
Navis begitu paham atas peristiwa-peristiwa jiwa yang di alami manusia.
Peristiwa jiwa yang dialami tokoh-tokoh dalam Robohnya Surau Kami banyak
kesesuaian dengan teori-teori ilmu psikologi. Ini menandakan A.A Navis telah
berhasil menggunakan teori-teori psikologi dalam karyanya. Ia mampu menyajikan
citra manusia yang seadil-adilnya dan sehidup-hidupnya, paling sedikit sastra
pada hakikatnya bertujuan untuk melukiskan lingkungan kehidupan manusia
(Hardjana, 1994).
Sebagai penikmat sastra seharusnya
kita mampu mengambil hikmah, bercermin dari karya sastra yang kit abaca, baik
hikmah dari kejadian-kejadian yang
dipotret dalam karya sastra mau pun bercermin dari peristiwa-peristiwa jiwa
yang dialami para tokohnya. Dengan memahami jiwa-jiwa para tokoh diharapkan
kita dapat mengambil sebagai pelajaran untuk menjalani kehidupan yang pasti
dalam menghadapi konflik-konflik.
Semoga dengan pemaparan ini dapat
memberikan gambaran yang jelas tentang peristiwa-peristiwa jiwa yang dialami
manusia sebagai sebuah cermin untuk mengambil sebuah keputusan yang tepat.
[2]
Sardjoe, 1993
[3] Navis.
1996. Robohnya Surau Kami. (Jakarta
: Gramedia Pustaka Utama), hal 16
[4]
Irwan, 2002
[5] Navis.
1996. Robohnya Surau Kami. (Jakarta
: Gramedia Pustaka Utama), hal 16
[6]
Sardjoe, 1993
[7] Navis.
1996. Robohnya Surau Kami. (Jakarta
: Gramedia Pustaka Utama), hal 19
[8]
Wiliam stern dalam sardjoe, 1993
[11] Navis.
1996. Robohnya Surau Kami. (Jakarta
: Gramedia Pustaka Utama), hal 24
[15] Sardjoe, 1993
[19]
Coleman, 1992