Powered By Blogger

Jumat, 01 Juni 2012

Dimensi Psikologis "Robohnya Surau Kami" karya A.A Navis


Kumpulan cerpen RSK terdiri dari sepuluh cerpen. Kesepuluh cerpen tersebut menampilkan realitas jiwa yang berbeda-beda. Namun dalam pembahasa ini saya hanya membahas empat cerpen saja. 

Cerpen yang pertama “Robohnya Surau Kami” pergolakan jiwa ini didominasi oleh tokoh kakek seorang garin, penjaga masjid. Tokoh kakek digambarkan seorang  yang taat beribadah. Hampir seluruh waktu hidupnya hanya digunakan untuk menyembah dan bersujud kepada Tuhan. Tidak ada lain. Kakek tidak bekerja, tidak pernah memikirkan anak dan istrinya. Kakek berharap dengan beribadah terus menerus ia akan mendapatkan surga di alam akherat. Tapi apa yang terjadi pergolakan jiwa dimulai ketika Ajo sidi membual, ia menceritakan dialog antara manusia yang  ada di neraka dengan Tuhan. Diceritakan bahwa haji saleh dan beberapa orang temannya harus masuk neraka. Padahal tidak disangsikan lagi bagaimana Haji saleh dengan taat dan rajinnya menyembah Tuhan. Cerita Ajo sidi ini sangat menohok batin kakek yang hidupnya memang mirip haji saleh. Ekspresi jiwa kakek terlibat pada kutipan di bawah ini.
Sekali hari ini aku datang pulang mengupah kepada kakek. Biasanya kakek gembira menerimaku; karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopanh tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke deoan, seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk pikirannya.[1]
Kutipan diatas menggambarkan sebuah perasaan. Perasaan merupakan peristiwa-peristiwa yang umumnya datang dari luar, yang dapat menimbulkan kegoncangan-kegoncangan pada diri orang yang bersangkutan.[2]
Perasaan yang dialami kakek adalah rasa yang tidak senang yang berwujud rasa sedih, duka cita, rasa takut, rasa gelisah. Peristiwa berhubungan erat dengan peristiwa pengenalan. Perasaan ini muncul karena kakek mengamati, menanggapi, mengingat-ingat, serta memikirkan tentang suatu permasalahan.
Kakek terguncang oleh bualan Ajo sidi. Perasaan sedih ini merupakan reaksi kejiwaan terhadap perangsang yang masuk.
Aku beri kau negeri kaya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadah saha, karena beribadah tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedangkan aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya.
Kesalah engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka , karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis.
Demikian cerita ajo sidi yang ku dengar dari kakek. Cerita yang memurungkan kakek.[3]
Kejadian yang dialami kakek ini begitu membekas ini begitu membekas dalam hatinya. Sebuah kejadian yang begitu membekas dalam seluruh truktur kepribadian dan peristiwa ini berlangsung sekejap.[4]
Peristiwa ini sungguh menekankan batin kakek sehingga seluruh pola perilakunya berubah. Kemudian puncak dari tekanan batin dan perasaan tak tertahankan ini, dia memutuskan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.
Siapa yang meninggal?” tanyaku kaget.
“kakek.”
“kakek?”
“ya. Tadi subuh kakek kedapatan mati disuraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggorok lehernya dengan pisau cukur.”[5]
Motif frustasi yang menjadi alasan kakek mengakhiri hidupnya dengan buhuh diri. Frustasi merupakan reaksi individu terhadap kegagalan mengatasinya, terutama jika reaksi negative.[6]

Dilanjutkan dengan cerpen kedua “Anak Kebanggan” tidak kalah kuatnya A.A Navis dalam menggambarkan aspek psikologi para tokoh ceritanya. Diceritakan Ompi sebagai tokoh utama.
Digambarkan Ompi seorang ayah yang begitu berpengharapan besar pada anak semata wayangnya. Ia berharap anak semata wayangnya dapat memberikan kebanggan pada dirinya. Ia ingin Indra Budiman menjadi insinyur atau dokter. Ia berangan-angan dan yakin semua harapannya akan jadi kenyataan. Ia rela mengorbankan kekayaannya untuk mewujudkan angan-angannya. Sayang sekali harapan tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Indra pun gagal menjadi dokter. Semua orang tahu itu, namun Ompi tetap tidak mau menerima kenyataan ini. Ia beranggapan anaknya  telah sukses menjadi dokter.
Dalam pengharapan ini tokoh Ompi menampilkan peristiwa-peristiwa jiwa yang sungguh menarik untuk dicermati.
Masa dan keadaanlah yang menetukannya. Ompi yakin masa itu pasti akan datang. Dan ia menunggu dengan hati yang disabar-sabarkan. Pada suatu hari yang gilang gemilang, angan-angannya pasti merupa pada kenyataan. Dia yakin itu bahwa Indra Budiman akan mendapatkan nama tambahan dokter dimuka namanya sekarang. Atau salah satu title yang mentereng lainnya. Ketika ompi mulai mengangangkan nama tambahan itu, diambilnya kertas dan potlot. Dituliskan nama anaknya, dr. indra budiman. Dan ompi merasa bahagia sekali. Ia yakinkan kepada para tetangganya akan cita-citanya yang pasti tercapai itu.[7]
Ompi lupa pada kenyataannya kini. Perasaan ompi merupakan perasaan yang menjangkau maju, yaitu suatu mengambil bagian yang tidak nyata dan imajiner dalam kejadian-kejadian yang akan datang.[8]
Harga diri, prestise yang tinggi sudah tertanam di alam bawah sadarnya.  Harga diri adalah penilaian tentang  nilai diri. Perasaan harga diri yang terlalu berlebihan yang menganggap dirinya tinggi disebut meedwaargheid complex. Orang yang seperti ini biasanya menjadi sombong, angkuh. Seperti tokoh ompi.
Ompi merangkai dan memadukan perasaan masa lalu dengan masa depan. Tanggapan-tanggapan atas masa lalunya yang gemilang merupakan bahan yang digunakan sebagai fantasi, pengharapan akan masa depan anaknya yang berupa imajiner yang serba sempurna.
Kesan fantasi dan imaji ini menjadi pemuasan bagi perasaannya yang tidak mau terikat kepada kenyataan yang sebenarnya. Tapi begitu kenyataan itu hadir di depan mata, ompi tidak dapat menerimanya. Ompi begitu lama menunggu surat dari anaknya yang mengabarkan keberhasilannya. Surat balasan tak pernah di terimanya. Malah surat-surat yang dikirimnya dikembalikan lagi oleh pak pos.
Pada suatu hari yang tak baik, di kala ompi sudah mulai putus asa, datanglah pak pos dengan di tangannya segenggam surat. Maka darah ompi kencang berdebar. Gemetar ia karena bahagia. Akan tetapi alangkah remuknya hati orang tua itu, karena semua surat-suratnya itu kembali. ia merasa seperti bermimpi dan tubuhnya serasa seringan kapas yang melayang ditiup angin. Tapi ia tak meyakininya dengan sungguh-sungguh. Malah ia coba meyakini dirinya sendiri, bahwa aia sedang bermimpi. Dan berdoalah ia kepada Tuhan, agar apa yang terjadi itu adalah memang mimpi.[9]
Ompi berusaha mengingkari kenyataan yang terjadi. Betapa pun ompi berusaha meyakini dirinya. Ompi sebenarnya sadar bahwa harapannya yang tinggi yang disandarkan pada anaknya hilang tak menjadi kenyataan. Keadaan ini membuat ompi sakit.
Semenjak itu segalanya jadi tak baik. Ia jatuh sakit, bahkan sampai mengigau. Dan oleh seleranya patah, ompi bertambah menderita jua. Lahir dan batin. Kini dalam hidupnya hanya satu hal yang dinantikannya. Yaitu surat. Surat dari anaknya, Indra Budiman. Seluruh hidupnya bagai jadi meredup seperti lampu kemersikan sumbu. Dan ia terlentang di ranjangnya, enggan bergerak. Tapi matanya selalu lebar terbuka memandang langit-langit kelambu. Mata itu kian hari semakin jadi besar nampaknya oleh badan yang kiang  mengurus. Tapi mata yang lebar itu tiada cemerlang redup.[10]
Ketika terakhir aku menemui dokter yang sudah enggan datang. Dokter hanya menggelengkan kepala saja, aku tak mampu mengobatinya lagi. Carilah dokter lain saja. Atau bawa ia kerumah sakit. Kalau semua tak mungkin, jangan tinggalkan dia sendirian. Bila perlu, meski dengan resiko besar, bangunkanlah kembali mahligai angan-angannya.[11]
Ompi mengalami kehilangan kekuatan fisik yang dipicu oleh hilangnya kegiatan jiwa yang menyebabkan semua system pertahankan tubuhnya menjadi lemah dan menyebabkan sakit. Pada puncaknya ompi menghembuskan nafas terakhirnya dengan jiwa yang terhimpit dengan penantian dan angan-angan.

Cerpen ketiga “Topi Helm”.  peristiwa jiwa dalam cerpen ini digambarkan oleh tokoh pak kari. Ia seorang tukang rem yang bekerja pada jalur kereta api padang panjang-kayu tanam. Diceritakan ia mendapatkan topi helm. Topi ini bukan sembarang topi melainakan topi ini mengandung sebuah makna yang sangat penting dan berharga bagi dirinya.
Topi ini pemberian dari tuan O.M atau Gunarso atasannya. Ketika memakai topi helm ini pak kari pun merasa ia sedang memakai mahkota kerajaan. Tak dihiraukannya teman yang mengoloknya ketika memakai topi ini.
Pak kari, si tukang rem itu. Ia tak tega membiarkan topinya kena hujan setitik pun. Betapa bangganya kalau topi itu di kepalanya, demikian pula besar sayangnya kepada helmnya. Sering ia tersenyum sendirian bila melihat wajahnya pada kaca pajangan tokoh yang dilewatinya saban pagi dan pulang kerja. Dan tentu saja tingkah laku pak kari yang berlebih-lebihan itu menjadi bahan olok-olok oleh kawan sekerja.[12]
Cintanya pada topi begitu dalam terbukti dengan menjaga topi itu dengan jiwa raganya. Rela berkorban demi topi itu. Ia meninggalkan gerbongnya demi untuk mengambil topi yang jatuh ke sungai bawah jembatan. Hal ini menyebabkan atasannya marah besar. Begitu besar kemarahan sang atasan sampai ia tega melempar topi pak kari ke dalam api yang menyala. Musnahlah topi itu.
Jawablah. Kenapa kau tinggalkan gerbongmu ? kata masinis lagi dengan nada yang lebih tinggi. Topi saya…. Topi saya jatuh. Di…di…dilanggar jembatan, kata pak kari gagap. Oo, karena topi ini jatuh, kau tinggalkan gerbongmu, he ?[13]
Kasihan sekali, masinis itu mengulangi kata-katanya seraya menggeleng-gelengkan kepala seperti orang terharu sangat. Sedangkan lidahnya berdecak-decak. Kena air topi ini basah. Api bagaimana ? serentak dengan itu dibukanya pintu api lok itu, dan secepat itu pula dilemparkannya topi helm itu ke dalam api yang sedang menyala. Lalu dia memandang pada pak kari yang terkejut melihat peristiwa yang tak disangkanya itu. Ah, topi biasa saja topimu itu, kari. Kena air basah. Kena api hangus juga.[14]
Kemarahan masinis yang diakhiri dengan membakar topi kebanggaan menggugah emosi pak kari. Emosi  ini ditadai dengan reaksi terkejut. Terkejut merupakan reaksi sesaat yang timbul pada kejadian-kejadian yang tidak disangka.[15]
Pak kari yang kekuyupan pada pagi hari di lembah pegunungan itu, tidak merasa dingin lagi dengan tiba-tiba. Ia merasa begitu panasnya  oleh bakaran api di dalam dadanya. Perbuatan memanggang topi helmnya itu tidak dapat dimaafkan begitu saja. Tapi ketika itu ia tidak tahu bagaimana melampiaskan sakit hatinya. Maka ia diam saja, seperti biasa ia menunjukan kesabarannya yang terkenal itu.[16]
Tapi kesabaran ada batasnya. Ketika timbul pemicu, marah, sakit hati, dendam yang terpendam akhirnya pecah. Pak kari balas dendam pada masinis yang telah membakar topi helmnya dulu. Ia melempar muka masinis dengan arang panas sehingga masinis menjadi buta.
Demi ia ingat topi helmnya lagi, yang telah terbakar habis oleh api dalam tungku di lambung lok yag lagi dibersihkannya itu mulailah lagi suatu nyala membakar hati dan pikirannya. Yaitu api dendam yang takkan pernah terpadamkan sebelum terbalas dengan lunas tiba-tiba ia ingin membalasnya sekarang. Sekarang juga.[17]
Jika ditelusuri mengapa pak kari begitu menyayangi topi helmnya adalah sebuah peristiwa yang terjadi antara ia dan nyonya Gunarso. Perasaan menyenangkan dan indah. Peristiwa ini juga meninggikan harga diri pak kari. Topi helm itu adalah simbol harga diri pak kari.
Dan topi helm itu, tapi yang diberikan tuan om kepadanya di kala hendak berpisah dulu, dirasakannya sebagai suatu perlambang yang bermakna abadi bagi hubungannya dengan nyonya gunarso, hubungan yang tersembunyi, yang begitu indah bila dikenang.[18]

Cerpen keempat “Datang dan Perginya”. Menggambarkan peristiwa jiwa rasa bersalah. Rasa bersalah yang dialami oleh tokoh ayah. Seorang ayah yang telah berbuat salah pada anaknya Masri. Rasa salah merupakan emosi yang umum seperti cinta dan dapat merusak seperti rasa benci.[19]
Tokoh ayah dalam cerpen ini sepanjang hidupnya selalu dibayangi oleh rasa bersalahnya. Meski setelah ia bertobat dari perbuatannya yang selalu mencari perempuan jalang. Perempuan ini lah yang menjadi pertengkaran dengan anaknya Masri. Setelah bertahun-tahun berlalu. Ia menyesal dalam kesendirian. Rasa bersalah timbul karena seseorang telah melakukan perbuatan keliru.
Tokoh ayah ia menebus rasa bersalahnya dengan menahan kerinduan dengan anak dan cucunya. Meski ia telah berkali-kali diundang Masri untuk datang ke rumahnya.
Si anak ingin melihat dengan mata kepala sendiri; benarkah ayahnya seperti yang dikatakan teman-temannya. Dan si anak mengintip.
Kehadiran Masri menjadi olok-olok perempuan yang dibayarnya. Dan ia merasa terhina dan marah sekali. Tapi si amaklah yang menjadi sasaran marahnya. Di tamparnya sekuat-kuatnya. Namun si anak diam dalam kesakitan dibiarkannya ayahnya berbuat sesuka hatinya.
Ku ajar kau. Bikin malu. Ayo, pergi. Kau bukan anakku lagi.[20]
Tentu aku ayah yang salah. Jahat. Kalau aku piker-pikir, kini Masri aku merasa kau telanjangi bila aku bertemu kau nanti. Aku memang ayah yang tak baik.[21]
Jawaban dari rasa bersalah adalah permohonan maaf kepada orang yang telah disakiti tentu saja setelah ada proses pertobatan kepada Tuhan. Rasa salah yang mengndap dalam jiwa akan menimbulkan beban berat. Kata maaf sesuatu yang mudah diucapkan tapi sulit untuk dilakukan.
Akhirnya ayah melakukan hal ini, setelah beberapa kali anaknya Masri mengirim surat mengundang ayahnya untuk datang ke rumahnya menengok menantu dan cucunya. Malu yang melingkupi perasaan ayah lambat laun pun sirna. Ia akhirnya memutuskan untuk datang ke rumah anaknya dan meminta  maaf.
Sifat-sifatku yang tinggi hati, karena malu minta maaf kepada orang yang lebih muda. Aku insaf sekarang, kesombongan itulah yang menghancurkan kehidupanku selama ini.[22]

Simpulan
Terlihat dalam cerpen-cerpennya A.A Navis begitu paham atas peristiwa-peristiwa jiwa yang di alami manusia. Peristiwa jiwa yang dialami tokoh-tokoh dalam Robohnya Surau Kami banyak kesesuaian dengan teori-teori ilmu psikologi. Ini menandakan A.A Navis telah berhasil menggunakan teori-teori psikologi dalam karyanya. Ia mampu menyajikan citra manusia yang seadil-adilnya dan sehidup-hidupnya, paling sedikit sastra pada hakikatnya bertujuan untuk melukiskan lingkungan kehidupan manusia (Hardjana, 1994).
Sebagai penikmat sastra seharusnya kita mampu mengambil hikmah, bercermin dari karya sastra yang kit abaca, baik hikmah dari kejadian-kejadian  yang dipotret dalam karya sastra mau pun bercermin dari peristiwa-peristiwa jiwa yang dialami para tokohnya. Dengan memahami jiwa-jiwa para tokoh diharapkan kita dapat mengambil sebagai pelajaran untuk menjalani kehidupan yang pasti dalam menghadapi konflik-konflik.
Semoga dengan pemaparan ini dapat memberikan gambaran yang jelas tentang peristiwa-peristiwa jiwa yang dialami manusia sebagai sebuah cermin untuk mengambil sebuah keputusan yang tepat.





[1] Navis. 1996. Robohnya Surau Kami. (Jakarta  : Gramedia Pustaka Utama),  hal 8
[2] Sardjoe, 1993
[3] Navis. 1996. Robohnya Surau Kami. (Jakarta  : Gramedia Pustaka Utama), hal 16
[4] Irwan, 2002
[5] Navis. 1996. Robohnya Surau Kami. (Jakarta  : Gramedia Pustaka Utama), hal 16
[6] Sardjoe, 1993
[7] Navis. 1996. Robohnya Surau Kami. (Jakarta  : Gramedia Pustaka Utama), hal 19
[8] Wiliam stern dalam sardjoe, 1993
[9] Navis. 1996. Robohnya Surau Kami. (Jakarta  : Gramedia Pustaka Utama), hal 23
[10] Navis. 1996. Robohnya Surau Kami. (Jakarta  : Gramedia Pustaka Utama), hal 23
[11] Navis. 1996. Robohnya Surau Kami. (Jakarta  : Gramedia Pustaka Utama), hal 24
[14]  Navis. 1996. Robohnya Surau Kami. (Jakarta  : Gramedia Pustaka Utama), hal 49
[15]  Sardjoe, 1993
[16]  Navis. 1996. Robohnya Surau Kami. (Jakarta  : Gramedia Pustaka Utama), hal 50
[17]  Navis. 1996. Robohnya Surau Kami. (Jakarta  : Gramedia Pustaka Utama), hal 52
[18]  Navis. 1996. Robohnya Surau Kami. (Jakarta  : Gramedia Pustaka Utama), hal 51
[19] Coleman, 1992
[20]  Navis. 1996. Robohnya Surau Kami. (Jakarta  : Gramedia Pustaka Utama), hal 55
[21]  Navis. 1996. Robohnya Surau Kami. (Jakarta  : Gramedia Pustaka Utama), hal 56
[22]  Navis. 1996. Robohnya Surau Kami. (Jakarta  : Gramedia Pustaka Utama), hal 57