Pendekatan Objektif merupakan pendekatan yang
menitikberatkan pada karya itu sendiri.[1]
Pembicaraan kesusastraan tidak akan ada bila tidak ada karya sastra. Karya
sastra menjadi sesuatu yang inti (yunus, 1985:2).
Pendekatan Objektif memusatkan perhatian semata-mata
pada unsur-unsur, antar hubungan, dan totalitas. Pendekatan ini mengarah pada
analisis intrinsik.[2]
Konsekuensi logis yang ditimbulkan adalah mengabaikan bahkan menolak segala
unsur ekstrinsik, seperti aspek historis, sosiologis, politis, dan unsur-unsur
sosiokultural lainnya. Oleh karena itulah, pendekatan objektif juga disebut
sebagai pendekatan teori sastra yang memandang karya sastra sebagai dunia
otonom, sebuah dunia yang dapat melepaskan diri dari siapa pengarangnya, dan
lingkungan sosial budayanya.
Unsur instrinsik adalah unsur-unsur yang
membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya
sastra lahir sebagai karya sastra.[3]Para
ahli membagi unsur-unsur instrinsik prosa rekaan atas alur, tokoh, watak,
penokohan, latar cerita, sudut pandang, gaya bahasa, amanat, tema, dan gaya penceritaan.[4]
Berikut di bawah ini akan dibahas mengenai beberapa unsur instrinsik terdapat
dalam cerpen Clara.
1. Tema
Tema cerpen
Clara ini adalah Diskriminasi Etnis. Cerpen Clara ini menggambarkan Tragedi bulan Mei tahun 1998, merupakan
salah satu tragedi berdarah, sebuah peristiwa pembantaian terhadap masyarakat
Indonesia keturunan Cina di Jakarta.
Tercermin dalam kutipan berikut.
“api sudah
berkobar di mana-mana ketika mobil BMW saya mealaju di jalan tol. Saya menerima
telepon dari rumah. ‘jangan pulang,’ kata Mama. Dia bilang kompleks perumahan
sudah dikepung, rumah-rumah tetangga sudah dijarah dan dibakar. Papa, Mama,
Monika, dan Sinta, adik-adikku, terjebak di dalam rumah dan tidak bisa ke
mana-mana. ‘jangan pulang, selamatkan diri kamu, pergilah langsung ke
Cengkareng, terbang ke Singapore atau Hongkong. Pokoknya ada tiket. Kamu selalu
bawa paspor, kan? Tinggalkan mobilnya di tempat parkir. Kalau terpaksa ke
Sydney tidak apa-apa. Pokoknya selamat. Di sanakan ada Oom dan Tante,’kata Mama
lagi.[5]
Gambaran
kerusuhan yang terjadi digambarkan dengan jelas pada kutipan diatas. Kerusuhan
terjadi di mana-mana menunjukan betapa mirisnya keadaan Jakarta pada saat itu.
Gambaran dari peristiwa itu ditegaskan pada kutipan berikut.
“…Tapi, di
ujung itu saya lihat segerombolan orang. Sukar sekali menghentikan mobil.
Apakah saya harus menabraknya? Pejalan kaki tidak dibenarkan berdiri di tengah
jalan tol, tapi saya tidak ingin menabraknya. Saya menginjak rem, tidak
langsung, karena mobil akan berguling-guling.[6]
Setelah
berhenti, saya lihat ada sekitar 25 orang. Semuanya laki-laki.
“Buka jendela,”
kata seseorang.
Saya buka
jendela.
“Cina!”
“Cina!”
Mereka
berterian seperti menemukan intan berlian.
Belum sempat
berpikir, kaca depan BMW itu sudah hancur karena gebukan. Aduh, benarkan
sebegitu bencinya orang-orang ini kepada Cina? Saya memang keturunan Cina, tapi
apa salah saya dengan lahir sebagai Cina?
“Saya orang
Indonesia,” kata saya dengan gemetar.
Braakk! Kap
mobil digebuk. Seseorang menarik saya dengan kasar lewat jendela. Saya dilempar
seperti karung dan terhempas di jalan tol.
“Sialan! Mata
lu sipit begitu ngaku-ngaku orang Indonesia!” pipi saya menempel di permukaan
bergurat jalan tol. Saya melihat kaki-kaki lusuh dan berdaki yang mengenakan
sandal jepit, sebagian tidak beralas kaki, hanya satu yang memakai sepatu.
“berdiri!”saya
berdiri, hampir jatuh karena sepatu saya yang tinggi. Saya melihat seseorang
melongok ke dalam mobil. Membuka-buka laci dashboard, lantas mengambil tas
saya. Isinya ditumpahkan ke jalan. Berjatuhanlah dompet, bedak, cermin, sikat
alis, sikat buku mata, lipstick, HP, dan bekas tiket bioskop yang saya pakai
nonton dengan pacar saya kemarin.
Dompetnya segera
diambil, uangnya langsung dibagi-bagi setengah rebutan. Sejuta rupiah uang cash
amblas dalam sekejap. Tidak apa-apa. Mobil masih bisa dikendarai dengan kaca
pecah, dan saya tidak perlu uang cash.
Didalam dompet
ada foto pacar saya. Orang yang mengambil dompet tadi mengeluarkan foto itu,
lantas mendekati saya.[7]
“Kamu pernah
sama dia?”
Saya diam saja.
Apa pun maksudnya saya tidak perlu menjawabnya.
Plak! Saya
ditampar. Bibir saya perih. Barangkali pecah.
“jawab! Pernah
kan ?Cina-cina kan tidak punya agama!”
Saya tidak
perlu menjawab.
Bug! Saya
ditempeleng sampai jatuh.
Seseorang yang
lain ikut melongok foto itu.
“huh! Pacarnya
orang jawa!” Saya teringat pacar saya. Saya tidak pernah peduli dia jawa atau
cina, saya Cuma tahu cinta.
“Periksa! Masih
perawan atau tidak dia!”
Tangan saya
secara refleks bergerak memegang rok span saya, tapi tangan saya tidak bisa
bergerak. Ternyata sudah ada dua orang yang masing-masing memegangi tangan
kanan dan kiri saya. Terasa rok saya ditarik. Saya menyepak-nyepak. Lagi-lagi
dua pasang tangan menangkap kedua kaki saya.
“Diem lu Cina!”
Rok saya sudah
lolos. Celana dalam saya direnggut sampai robek.
Kutipan panjang di atas, menggambarkan
kenarkisan orang-orang pribumi yang ditunjukkan dengan menyiksa, memperkosa,
menindas, dan merampas orang yang berbeda etnis dengan mereka.
Kenarkian itu ditegaskan kembali pada kutipan berikut.
Saya ambil HP
saya, dan saya dengar pesan papa:’kalau kamu dengar pesan ini, mudah-mudahan
kamu sampai di Hongkong, Sydney, atau paling tidak Singapore. Tabahkanlah
hatimu Clara. Kedua adikmu, Monica dan Sinta, telah dilempar ke dalam api
setelah diperkosa. Mama juga diperkosa, lantas bunuh diri, melompat dari lantai
empat. Barangkali Papa akan menyusul juga”
Dari penjelasan kutipan-kutipan di
atas, terlihat cerpen ini berbicara tentang pebedaan etnis yang menimbulkan
sikap anarki dari salah satu kelompok etnis.
2. Tokoh
Tokoh dalam
cerpen Clara terdiri atas tokoh
utama, dan beberapa tokoh pembantu. Adapun tokoh-tokohnya adalah sebagai
berikut:
a)
Tokoh aku pria
Tokoh aku pria ini sebagai tokoh utama menjadi pencerita,
dan dari ceritanyalah kejadian demi kejadian dalam cerpen terjadi. Tokoh aku
muncul sejak awal cerita. Ia bermonolog tentang berbagai perbuatan
penganiayaan. Kemudian tokoh aku menggambarkan tokoh-tokoh yang lainnya dalam
ceritanya tersebut.
Terlihat dalam
kutipan berikut.
Barang kali aku
seorang anjing. Barangkali aku seorang babi*)—tapi aku memakai seragam. Kau
tidak akan pernah tahu siapa diriku sebenarnya.
Wanita itu
menangis. Mestinya aku terharu. Mestinya. Setidaknya aku bisa terharu kalau
membaca roman picisan yang dijual di pinggir jalan. Tapi menjadi terharu tidak
baik untuk seorang petugas seperti aku.
“….Aku Cuma
alat. Aku Cuma robot. Taik kucing dengan hati nurani. Aku hanya petugas yang
membuat laporan, dan sebuah laporan harus sangat terinci, bukan?
b)
Tokoh Wanita
Wanita ini sebagai tokoh utama kedua, yang menceritakan
kelanjutan dari penganiayaan yang dialami tokoh dirinya sendiri.
Dijelaskan
dalam kutipan berikut.
“Setelah berhenti, saya lihat ada sekitar 25 orang.
Semuanya laki-laki.
“Saya orang Indonesia,” kata saya dengan gemetar.
c)
Tokoh Papa dan tokoh Mama
Digambarkan
dalam kutipan berikut.
“…Saya dengar
pesan Papa: ‘kalau kamu dengar pesan ini, mudah-mudahan kamu sudah sampai di
Hongkong, Sidney, atau paling tidak Singapur. Tabahkan hatimu Clara, kedua
adikmu, Monica dan Sinta, telah dilempar kedalam api setelah diperkosa. Mama
juga diperkosa, lantas bunuh diri, melompat dari lantai empat. Barangkali Papa
akan menyusul juga. Papa tidak tahu apakah hidup ini masih berguna. Rasanya
Papa ingin mati saja.’
d)
Tokoh Ibu tua
Tokoh ini sebagai tokoh pembantu
yang kemunculannya disebutkan oleh tokoh utama seperti pada kutipan berikut:
Saya tidak bisa
bergerak sampai seorang ibu tua datang terbungkuk-bungkuk. Dia segera menutupi
tubuh saya dengan kain.
“Maafkan anak-anak kami,” katanya, “mereka memang benci
dengan Cina.”
“Dia terkapar telanjang di tepi jalan,” kata ibu tua itu.
e)
Tokoh sekelompok orang
“Setelah
berhenti, saya melihat ada sekitar 25 orang. Semuanya laki-laki.
“Cina!”
“Cina!”
“Sialan! Mata lu sipit begitu ngaku-ngaku orang
Indonesia!”
“Berdiri!”
3. Latar
a)
Latar tempat
Latar tempat dalam cerpen Clara karya Seno Gumira A terdiri dari
satu tempat saja, yaitu di sebuah jalan tol di Ibu kota.
Disinilah tindak kejahatan penganiayaan itu bermula dan
berakhir.
Digambarkan dalam kutipan berikut.
“…Tapi, di
ujung itu saya lihat segerombolan orang. Sukar sekali menghentikan mobil.
Apakah saya harus menabraknya? Pejalan kaki tidak dibenarkan berdiri di tengah
jalan tol, tapi saya tidak ingin menabraknya. Saya menginjak rem, tidak
langsung, karena mobil akan berguling-guling.
b)
Latar waktu
Latar waktu
dalam cerpen Clara karya Seno Gumira
Ajidarma tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai kapan terjadinya kisah
novel ini, namun novel ini berlatar waktu sekitar tahun 1998-an berdasarkan
waktu pada saat novel ini ditulis penulisnya.
4.
Alur
Adapun alur dalam cerpen Clara dapat diurutkan sebagai berikut:
a.
Tokoh aku pertama mengintrogasi tokoh
utama kedua sebagai korban penganiayaan sadis yang menimpa dirinya.
b.
Tokoh aku kedua menceritakan kesaksian
atas sebuah tindak kejahatan segerombolan 25 orang terhadap dirinya.
c.
Tokoh aku kedua dianiaya dan diperkosan
d.
Tokoh aku kedua ditolong oleh ibu tua
e.
Tokoh aku kedua mendengar Mama, dan
kedua Adiknya sudah meninggal.
f.
Sampai wanita itu di bawa ke kantor
g.
Hingga akhirnya dia di perkosa oleh
petugas kantor
5. Sudut pandang
Sudut pandang yang ditampilkan
perngarang dalam cerpen Clara adalah
sudut pandang pengarang serba tahu. Maksudnya si pengarang tidak hanya menjadi
tokoh utama tetapi juga sebagai tokoh yang menggambarkan tokoh-tokoh lainnya,
melalui ceritanya.
6.
Amanat
Pesan moral yang ingin saya sampaikan melalui cerpen Clara ini adalah tidak perlu ada
diskriminasi antara orang pribumi dan nonpribumi. Keindonesiaan hakikatnya
mempersatukan sekelompok manusia berdasarkan kesamaan identitas sebagai suatu
bangsa berdasarkan keanekaragaman etnis, bahasa, dan agama.
[1] A.Teeuw. Pengantar Teori Sastra. (Bandung:
Pustaka Jaya, 1984), hlm 50
[2] Scribd. “Pendekatan Objektif”. Dari http://www.scribd.com. Diunduh pada tanggal
29 november 2012
[3] Burhan, Nurgiantoro. Teori Pengkajian Fiksi. (Yogyakarta:
Gadja Mada University Press, 2005), hlm 23
[4] Wahyudin, Siswanto. Pengantar Teori Sastra. (Jakarta: Grasindo,2008),
hlm 142
[5] Melani, Budianta. Membaca Sastra-Clara. (Magelang:
IndonesiaTera, 2003) hlm 208
[6] Ibid, hlm 210
[7] Ibid, hlm 211