Powered By Blogger

Rabu, 10 Juli 2013

"Clara"

Pendekatan Objektif merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada karya itu sendiri.[1] Pembicaraan kesusastraan tidak akan ada bila tidak ada karya sastra. Karya sastra menjadi sesuatu yang inti (yunus, 1985:2).

Pendekatan Objektif memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur, antar hubungan, dan totalitas. Pendekatan ini mengarah pada analisis intrinsik.[2] Konsekuensi logis yang ditimbulkan adalah mengabaikan bahkan menolak segala unsur ekstrinsik, seperti aspek historis, sosiologis, politis, dan unsur-unsur sosiokultural lainnya. Oleh karena itulah, pendekatan objektif juga disebut sebagai pendekatan teori sastra yang memandang karya sastra sebagai dunia otonom, sebuah dunia yang dapat melepaskan diri dari siapa pengarangnya, dan lingkungan sosial budayanya.

Unsur instrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra lahir sebagai karya sastra.[3]Para ahli membagi unsur-unsur instrinsik prosa rekaan atas alur, tokoh, watak, penokohan, latar cerita, sudut pandang, gaya bahasa, amanat, tema, dan gaya penceritaan.[4] Berikut di bawah ini akan dibahas mengenai beberapa unsur instrinsik terdapat dalam cerpen Clara.
1.    Tema
Tema cerpen Clara ini adalah Diskriminasi Etnis. Cerpen Clara ini menggambarkan Tragedi bulan Mei tahun 1998, merupakan salah satu tragedi berdarah, sebuah peristiwa pembantaian terhadap masyarakat Indonesia keturunan Cina di Jakarta.
Tercermin dalam kutipan berikut.
api sudah berkobar di mana-mana ketika mobil BMW saya mealaju di jalan tol. Saya menerima telepon dari rumah. ‘jangan pulang,’ kata Mama. Dia bilang kompleks perumahan sudah dikepung, rumah-rumah tetangga sudah dijarah dan dibakar. Papa, Mama, Monika, dan Sinta, adik-adikku, terjebak di dalam rumah dan tidak bisa ke mana-mana. ‘jangan pulang, selamatkan diri kamu, pergilah langsung ke Cengkareng, terbang ke Singapore atau Hongkong. Pokoknya ada tiket. Kamu selalu bawa paspor, kan? Tinggalkan mobilnya di tempat parkir. Kalau terpaksa ke Sydney tidak apa-apa. Pokoknya selamat. Di sanakan ada Oom dan Tante,’kata Mama lagi.[5]

Gambaran kerusuhan yang terjadi digambarkan dengan jelas pada kutipan diatas. Kerusuhan terjadi di mana-mana menunjukan betapa mirisnya keadaan Jakarta pada saat itu. Gambaran dari peristiwa itu ditegaskan pada kutipan berikut.
“…Tapi, di ujung itu saya lihat segerombolan orang. Sukar sekali menghentikan mobil. Apakah saya harus menabraknya? Pejalan kaki tidak dibenarkan berdiri di tengah jalan tol, tapi saya tidak ingin menabraknya. Saya menginjak rem, tidak langsung, karena mobil akan berguling-guling.[6]
Setelah berhenti, saya lihat ada sekitar 25 orang. Semuanya laki-laki.
“Buka jendela,” kata seseorang.
Saya buka jendela.
“Cina!”
“Cina!”
Mereka berterian seperti menemukan intan berlian.

Belum sempat berpikir, kaca depan BMW itu sudah hancur karena gebukan. Aduh, benarkan sebegitu bencinya orang-orang ini kepada Cina? Saya memang keturunan Cina, tapi apa salah saya dengan lahir sebagai Cina?

“Saya orang Indonesia,” kata saya dengan gemetar.
Braakk! Kap mobil digebuk. Seseorang menarik saya dengan kasar lewat jendela. Saya dilempar seperti karung dan terhempas di jalan tol.

“Sialan! Mata lu sipit begitu ngaku-ngaku orang Indonesia!” pipi saya menempel di permukaan bergurat jalan tol. Saya melihat kaki-kaki lusuh dan berdaki yang mengenakan sandal jepit, sebagian tidak beralas kaki, hanya satu yang memakai sepatu.

“berdiri!”saya berdiri, hampir jatuh karena sepatu saya yang tinggi. Saya melihat seseorang melongok ke dalam mobil. Membuka-buka laci dashboard, lantas mengambil tas saya. Isinya ditumpahkan ke jalan. Berjatuhanlah dompet, bedak, cermin, sikat alis, sikat buku mata, lipstick, HP, dan bekas tiket bioskop yang saya pakai nonton dengan pacar saya kemarin.
Dompetnya segera diambil, uangnya langsung dibagi-bagi setengah rebutan. Sejuta rupiah uang cash amblas dalam sekejap. Tidak apa-apa. Mobil masih bisa dikendarai dengan kaca pecah, dan saya tidak perlu uang cash.
Didalam dompet ada foto pacar saya. Orang yang mengambil dompet tadi mengeluarkan foto itu, lantas mendekati saya.[7]

“Kamu pernah sama dia?”
Saya diam saja. Apa pun maksudnya saya tidak perlu menjawabnya.
Plak! Saya ditampar. Bibir saya perih. Barangkali pecah.
“jawab! Pernah kan ?Cina-cina kan tidak punya agama!”
Saya tidak perlu menjawab.
Bug! Saya ditempeleng sampai jatuh.
Seseorang yang lain ikut melongok foto itu.

“huh! Pacarnya orang jawa!” Saya teringat pacar saya. Saya tidak pernah peduli dia jawa atau cina, saya Cuma tahu cinta.

“Periksa! Masih perawan atau tidak dia!”
Tangan saya secara refleks bergerak memegang rok span saya, tapi tangan saya tidak bisa bergerak. Ternyata sudah ada dua orang yang masing-masing memegangi tangan kanan dan kiri saya. Terasa rok saya ditarik. Saya menyepak-nyepak. Lagi-lagi dua pasang tangan menangkap kedua kaki saya.

“Diem lu Cina!”
Rok saya sudah lolos. Celana dalam saya direnggut sampai robek.

Kutipan panjang di atas, menggambarkan kenarkisan orang-orang pribumi yang ditunjukkan dengan menyiksa, memperkosa, menindas, dan merampas orang yang berbeda etnis dengan mereka.
Kenarkian itu ditegaskan kembali pada kutipan berikut.

Saya ambil HP saya, dan saya dengar pesan papa:’kalau kamu dengar pesan ini, mudah-mudahan kamu sampai di Hongkong, Sydney, atau paling tidak Singapore. Tabahkanlah hatimu Clara. Kedua adikmu, Monica dan Sinta, telah dilempar ke dalam api setelah diperkosa. Mama juga diperkosa, lantas bunuh diri, melompat dari lantai empat. Barangkali Papa akan menyusul juga”

Dari penjelasan kutipan-kutipan di atas, terlihat cerpen ini berbicara tentang pebedaan etnis yang menimbulkan sikap anarki dari salah satu kelompok etnis.
2.    Tokoh
Tokoh dalam cerpen Clara terdiri atas tokoh utama, dan beberapa tokoh pembantu. Adapun tokoh-tokohnya adalah sebagai berikut:
a)    Tokoh aku pria
Tokoh aku pria ini sebagai tokoh utama menjadi pencerita, dan dari ceritanyalah kejadian demi kejadian dalam cerpen terjadi. Tokoh aku muncul sejak awal cerita. Ia bermonolog tentang berbagai perbuatan penganiayaan. Kemudian tokoh aku menggambarkan tokoh-tokoh yang lainnya dalam ceritanya tersebut.
Terlihat dalam kutipan berikut.
Barang kali aku seorang anjing. Barangkali aku seorang babi*)—tapi aku memakai seragam. Kau tidak akan pernah tahu siapa diriku sebenarnya.
Wanita itu menangis. Mestinya aku terharu. Mestinya. Setidaknya aku bisa terharu kalau membaca roman picisan yang dijual di pinggir jalan. Tapi menjadi terharu tidak baik untuk seorang petugas seperti aku.
“….Aku Cuma alat. Aku Cuma robot. Taik kucing dengan hati nurani. Aku hanya petugas yang membuat laporan, dan sebuah laporan harus sangat terinci, bukan?
b)   Tokoh Wanita
Wanita ini sebagai tokoh utama kedua, yang menceritakan kelanjutan dari penganiayaan yang dialami tokoh dirinya sendiri.
Dijelaskan dalam kutipan berikut.
“Setelah berhenti, saya lihat ada sekitar 25 orang. Semuanya laki-laki.
“Saya orang Indonesia,” kata saya dengan gemetar.
c)    Tokoh Papa dan tokoh Mama
Digambarkan dalam kutipan berikut.
“…Saya dengar pesan Papa: ‘kalau kamu dengar pesan ini, mudah-mudahan kamu sudah sampai di Hongkong, Sidney, atau paling tidak Singapur. Tabahkan hatimu Clara, kedua adikmu, Monica dan Sinta, telah dilempar kedalam api setelah diperkosa. Mama juga diperkosa, lantas bunuh diri, melompat dari lantai empat. Barangkali Papa akan menyusul juga. Papa tidak tahu apakah hidup ini masih berguna. Rasanya Papa ingin mati saja.’
d)   Tokoh Ibu tua
Tokoh ini sebagai tokoh pembantu yang kemunculannya disebutkan oleh tokoh utama seperti pada kutipan berikut:
Saya tidak bisa bergerak sampai seorang ibu tua datang terbungkuk-bungkuk. Dia segera menutupi tubuh saya dengan kain.
“Maafkan anak-anak kami,” katanya, “mereka memang benci dengan Cina.”
“Dia terkapar telanjang di tepi jalan,” kata ibu tua itu.
e)    Tokoh sekelompok orang
“Setelah berhenti, saya melihat ada sekitar 25 orang. Semuanya laki-laki.
“Cina!”
“Cina!”
“Sialan! Mata lu sipit begitu ngaku-ngaku orang Indonesia!”
“Berdiri!”
3.    Latar
a)    Latar tempat
Latar tempat dalam cerpen Clara karya Seno Gumira A terdiri dari satu tempat saja, yaitu di sebuah jalan tol di Ibu kota.
Disinilah tindak kejahatan penganiayaan itu bermula dan berakhir.
Digambarkan dalam kutipan berikut.
“…Tapi, di ujung itu saya lihat segerombolan orang. Sukar sekali menghentikan mobil. Apakah saya harus menabraknya? Pejalan kaki tidak dibenarkan berdiri di tengah jalan tol, tapi saya tidak ingin menabraknya. Saya menginjak rem, tidak langsung, karena mobil akan berguling-guling.
b)   Latar waktu
Latar waktu dalam cerpen Clara karya Seno Gumira Ajidarma tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai kapan terjadinya kisah novel ini, namun novel ini berlatar waktu sekitar tahun 1998-an berdasarkan waktu pada saat novel ini ditulis penulisnya.

4.    Alur
Adapun alur dalam cerpen Clara dapat diurutkan sebagai berikut:
a.    Tokoh aku pertama mengintrogasi tokoh utama kedua sebagai korban penganiayaan sadis yang menimpa dirinya.
b.    Tokoh aku kedua menceritakan kesaksian atas sebuah tindak kejahatan segerombolan 25 orang terhadap dirinya.
c.    Tokoh aku kedua dianiaya dan diperkosan
d.   Tokoh aku kedua ditolong oleh ibu tua
e.    Tokoh aku kedua mendengar Mama, dan kedua Adiknya sudah meninggal.
f.    Sampai wanita itu di bawa ke kantor
g.    Hingga akhirnya dia di perkosa oleh petugas kantor

5.    Sudut pandang
Sudut pandang yang ditampilkan perngarang dalam cerpen Clara adalah sudut pandang pengarang serba tahu. Maksudnya si pengarang tidak hanya menjadi tokoh utama tetapi juga sebagai tokoh yang menggambarkan tokoh-tokoh lainnya, melalui ceritanya.

6.    Amanat
Pesan moral yang ingin saya sampaikan melalui cerpen Clara ini adalah tidak perlu ada diskriminasi antara orang pribumi dan nonpribumi. Keindonesiaan hakikatnya mempersatukan sekelompok manusia berdasarkan kesamaan identitas sebagai suatu bangsa berdasarkan keanekaragaman etnis, bahasa, dan agama.
 





[1] A.Teeuw. Pengantar Teori Sastra. (Bandung: Pustaka Jaya, 1984), hlm 50
[2] Scribd. “Pendekatan Objektif”. Dari http://www.scribd.com. Diunduh pada tanggal 29 november 2012
[3] Burhan, Nurgiantoro. Teori Pengkajian Fiksi. (Yogyakarta: Gadja Mada University Press, 2005), hlm 23
[4] Wahyudin, Siswanto. Pengantar Teori Sastra. (Jakarta: Grasindo,2008), hlm 142
[5] Melani, Budianta. Membaca Sastra-Clara. (Magelang: IndonesiaTera, 2003) hlm 208
[6] Ibid, hlm 210
[7] Ibid, hlm 211