Powered By Blogger

Kamis, 22 Mei 2014

Perjalanan Trisnoyuwono dalam Laki-laki dan Mesiu Oleh: Ratih Risnawati

Judul buku     : Laki-laki dan Mesiu
Penulis             : Trisnoyuwono
Penerbit           : Grasindo
Tahun terbit  : 1994
Tebal                 : 114

Trisnoyuwono dilahirkan di Yogyakarta, 12 November 1925. Tamatan SMA tahun 1947 ini pernah menjadi anggota: Pasukan 40 Tentara Rakyat Mataram di Yogya (1955), Corps Mahasiswa dan bertugas di Magelang dan Jombang (1947-48), dan TNI Divisi Siliwangi (1950-53).[1] Trisnoyuwono adalah seorang pasukan militer. Setelah pada tahun 1953 ia bebas tugas dari kemiliteran, ia kemudian terjun ke dunia kewartawanan dan penerbitan, di “Trio”, “Aneka”, “Berita Minggu”.[2] Ia mulai mengarang sajak-sajak tapi gagal. Kemudian cerpen-cerpen, tapi hanya terbatas pada majalah-majalah ringan seperti Aneka, Nasional. Pada tahun 1954-1956, mulai menghasilkan cerpen-cerpen sastra di majalah-majalah.[3] Cerita pendeknya mulai muncul dalam majalah-majalah sastra sejak tahun 1955. Laki-Laki dan Mesiu adalah buku kumpulan cerita pendeknya yang pertama, dan terbit pertama kali pada 1957. Untuk itu ia mendapat hadiah sastra nasional dari BMKN tahun 1957-1958. Isinya berupa kisah revolusi yang kebanyakan berdasarkan pengalamannya sendiri. Kumpulan cerita pendeknya yang kedua berjudul Angin Laut (1958) dan yang berikutnya berjudul Di Medan Perang (1961), Kisah-Kisah Revolusi (1965).[4]
Karya sastra diciptakan dari proses kreatif seorang penulis. Pada dasarnya karya sastra merupakan hasil pemikiran penulis yang dituangkan dalam bentuk citra atau imaji. Karya sastra adalah fiksi. Ia hanya meminjam pengalaman penghayatan empiris pembacanya, untuk menyampaikan pemikirannya. Begitupun dengan antologi Trisnoyuwono Laki-laki dan Mesiu, sepuluh cerpennya merupakan kisah dari perjalanan yang pernah dialami dan dirasakan oleh pengarangnya yang dituangkan dalam sebuah tulisan, hingga menghasilkan sepuluh cerpen.
Kesepuluh cerpen Trisno ini, mengisahkan pengalaman-pengalaman hidupnya selama zaman revolusi dan zaman awal tahun 1950-an, baik pengalaman hidupnya sendiri maupun pengalaman hidup orang lain. Gaya penulisan yang digunakan Trisno, yaitu empiris. Berdasarkan pengalamannya, sehingga bahasa dalam cerpen-cerpennya mudah dipahami dan kontekstual dengan zamannya. Selain itu, cerpen-cerpennya pun menarik karena ia menggambarkan manusia dalam situasinya lengkap dengan ketakutan, nafsu birahi, kelemahan dan kekuatannya.
Diawali dengan cerpen Tinggul, yaitu mengisahkan tindakan semaunya sendiri dan semena-mena dalam mengambil keputusan yang dilakukan Kapten Komandan Kompi terhadap tahanan Tinggul. Terlihat dalam kutipan berikut.
“Kep, tahanan dibawa ke mana, Kep?
“Ha...?! Ke S.! Kalau ada yang tanya bilang saja dibawa ke CPM,” jawabnya seenaknya, agak kaki.
........Terpaku aku! Sungguh tidak masuk akal apa yang diperbuat Kapten. Semua proses perbal itu di pojok kanannya bertanda silang merah![5]
Secara sepihak Kapten Komandan Kompi memutuskan untuk memberi hukuman mati pada tahanan gerombolan termasuk si Tinggul.
Cerpen selanjutnya, Kopral Tohir, Restoran, dan Rancah mengisahkan bagaimana pembawaan diri seorang pemimpin dalam menghadapi bawahannya. Terlihat dalam kutipan cerpen Kopral Tohir berikut. “Kamu sebetulnya baik, kamu bisa jadi kopral yang baik. Saya tidak suka kamu sampai kamu dihukum berpuluh tahun. Saya tidak suka kamu sampai dihukum mati. Ibumu sudah tua, ia butuh bantuanmu.”[6] Terlihat sikap pembawaan diri dari seorang pemimpin yang berwibawa dalam menghadapi bawahannya yang salah. Tidak langsung memberikan hukuman mati, melainkan memaklumi bawahannya. Dalam cerpen Restoran pun tergambar dalam kutipan berikut.
“Mayor marah...”
“Sekarang tidak lagi, dan...”
“Saya banyak menyusahkan, Mayor...”
“Dullah, aku minta maaf...”[7]
Terlihat dalam kutipan di atas disaat anak buah dari Mayor menipunya, Mayor marah dan memukulinya, tetapi setelah itu ia meminta maaf pada bawahannya itu. Sudut pandang yang digunakan dalam setiap cerpen-cerpennya adalah akuan. Setiap ceritanya kental dengan kemiliteran. Karena dahulunya Trisnoyuwono adalah seorang Mayor, yang kemudian selepas bebas dari jabatannya, ia mulai menulis cerpen-cerpen.



[1] Trianoyuwono. Laki-laki Dan Mesiu. (Jakarta: Grasindo, 1994), hlm. 114
[2] No name. “Redaktur dan Wartawan”. Pusat Dokumentasi Sastra H.B Jassin. Majalah “Varia” Th.III no.121, 10 Agustus 1960.
[3] Kiki, Ajie. SMA Negeri III Jakarta. “Trisnoyuwono” dalam Pusat Dokumentasi Sastra H.B Jassin, Jakarta 26 Juni 1971
[4] Trianoyuwono. Laki-laki Dan Mesiu. (Jakarta: Grasindo, 1994), hlm. 114
[5] Trisnoyuwono. Laki-laki dan Mesin. (Jakarta: Grasindo, 1994), hlm. 12
[6] Trisnoyuwono. Laki-laki dan Mesin. (Jakarta: Grasindo, 1994), hlm. 23
[7] Trisnoyuwono. Laki-laki dan Mesin. (Jakarta: Grasindo, 1994), hlm. 53

(Review) Revolusioner Mas Marco Kartodikromo dalam Student Hidjo Oleh: Ratih Risnawati

Judul buku     : Student Hidjo
Penulis             : Mas Marco Kartodikromo
Penerbit           : Yayasan Bentang Budaya
Tahun terbit  : 1919
Tebal                 : 170

Mas marco lahir kurang lebih tahun 1890 di Cepu, dari keluarga priyayi rendahan. Ia memperoleh pendidikan sekolah Bumiputera angka dua di Bojonegoro dan sekolah swasta bumiputera Belanda di Purworejo. Tahun 1911 ia bergabung dengan pergerakan Serikat Islam, ia menjadi sekretaris Serikat Islam cabang Solo. Tahun 1914 ia mendirikan Inlandsche Journalisten Bond (IJB) di Surakarta dan menerbitkan Doenia Bergerak sebagai surat kabar IJB. Tahun 1915 ia dituntut oleh pengadilan akibat dari tulisan-tulisan kritis yang ditulisnya di surat kabar IJB. Setelah keluar dari penjara, ia pergi ke Belanda. Sepulang dari Belanda, ia menulis lagi artikel-artikel dengan tema keras yang disajikan ke publik, akibatnya tahun 1917-1919 ia masuk penjara kembali. Setelah keluar dari penjara, ia terjun ke politik. Tahun 1927 akibat dari aktivitas politiknya yang dikenal sebagai orang anti Belanda, ia dibuang ke Digoel dan dilempar ke Gudang Arang. Sampai meninggalnya yang berakhir tragis di Boven Digoel tahun 1932 karena malaria.
Dalam Novel ini Mas Marco menceritakan tentang sebuah kehidupan, dengan tokoh utama Hidjo. Pemuda dari kalangan priyayi rendahan yang berhasil meraih prestasi dalam sekolahnya dan bisa melanjutkan belajar ke Negeri Belanda. Sebelum berangkat ke Negeri Belanda ia dijodohkan oleh orang tuanya dengan woengoe. Namun Hidjo punya cerita lain dan digambarkan di akhir novel tersebut. Mas Marco dalam penulisan novel ini, dengan gaya layaknya wartawan, bercerita dengan rangkaian cerita maju sehingga langsung bisa dipahami.
Novel Student Hidjo ini ditulis pada saat ia di dalam penjara, dipenjara akibat dari tulisan-tulisan artikelnya yang dinilai kritis tidak bersahabat dengan kolonial. Novel ini berlatarkan Solo yang ditulis pada abad XX, masa yang dalam sejarah resmi disebut sebagai kebangkitan nasional. Sebagai karya yang lahir dimasa kolonial, Student Hidjo mengemukakan perubahan revolusioner kesadaran nasionalisme. Dengan adanya kesadaran nasional mampu menumbuhkan semangat untuk bertindak menentang penjajahan. Faktor yang memudahkan proses pertumbuhan nasionalisme itu, yakni pendidikan. Novel ini dibuka dengan keinginan ayah Hidjo menyekolahkannya ke Belanda.
“Maksud saya mengirimkan Hidjo ke Negeri Belanda itu, tidak lain supaya orang-orang yang meredahkan kita bisa mengerti bahwa manusia sama saja”.[1]
Mas Marco Kartodikromo menggambarkan kaum pribumi menjadi modern, dengan pengisahan ayah Hidjo menyekolahkan anaknya ke negeri Belanda, begitupun dengan Hidjo sebagai “student” yang beridentitas modern. Walaupun hanya anak priyayi rendahan berkat kepintarannya bisa melanjutkan sekolah ke negeri Belanda. Dengan bekal pendidikan yang tinggi akan memunculkan pemikiran bahwa mereka harus bisa melepaskan diri dari penjajahan.
“Hidjo bertanya kepada mereka, “Bagaimana kita musti berjalan Dames?
Begini, kata nyonya dan Hidjo disuruh berjalan ditengah-tengah, kanan kiri gadis-gadis itu.[2]
“Apa Tuan suka makan cara Belanda?
“Suka!” jawab Hidjo pendek sambil tertawa.[3]
“Is dit mijn brief Mevrouw?” Tanya Hidjo kepada Mamanya Betje.[4]
Di sini Marco ingin meningkatkan martabat diri masyarakat terjajah bisa setara dengan bangsa penjajah. Terlihat pada tokoh Hidjo di Belanda berusaha menyetaran diri dengan orang-orang Belanda. Mulai dari berjalan, makan, berbicara dan bergaya hidup ala Eropa.
Selain pendidikan, faktor kesadaran nasional, yakni pertumbuhan organisasi sebagai pergerakan nasional. Di mana dalam novel ini Mas Marco menggambarkan adanya pergerakan organisasi SI (Serikat Islam).
“Pukul 8, kongres dibuka. Tidak selang beberapa lama Biroe, Woengoe, Prajogo dan Wardojo mendengarkan voordracht Bestuur S.I., lalu mereka iseng-iseng melihat-lihat binatang buas yang ada di Taman Sriwedari.[5]
Tidak hanya Hidjo, Biroe, Woengoe dan Wardojo digambarkan sebagai tokoh pribumi di masa kolonial yang hidup sebagai golongan priyayi, terpelajar, cantik dan tampan. Keikutsertaan mereka dalam acara vergadering SI (Sarekat Islam), memperlihatkan novel ini adanya pergerakan organisasi.



[1] Marco, Kartodikromo. Student Hidjo. (Yogyakarta: Yayayasan Bentang Budaya, 1919), hlm. 3
[2] Marco, Kartodikromo. Student Hidjo. (Yogyakarta: Yayayasan Bentang Budaya, 1919), hlm. 26
[3] Marco, Kartodikromo. Student Hidjo. (Yogyakarta: Yayayasan Bentang Budaya, 1919), hlm. 48-49
[4] Marco, Kartodikromo. Student Hidjo. (Yogyakarta: Yayayasan Bentang Budaya, 1919), hlm. 99
[5] Marco, Kartodikromo. Student Hidjo. (Yogyakarta: Yayayasan Bentang Budaya, 1919), hlm. 130-131

(Review) Lukisan Kehidupan Pribumi Dalam Antologi Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma Oleh: Ratih Risnawati

Judul buku      : Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma
Penulis              : Idrus
Penerbit            : Balai Pustaka
Tahun terbit   : 1948
Tebal                  : 176
Idrus lahir pada tanggal 21 September 1921 di Padang, dari pasangan Siti Alimah dan Sutan Abdullah. Berpendidikan di HIS (Hollands Inlandse School) di Kayutanam tahun 1936. Setamat HIS ia melanjutkan ke MULO di Padang, setamat MULO ia merantau ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah di AMS (Algemene Middelbare School) tahun 1943. Tahun 1946, menikah dengan Ratna Suri. Mereka dikaruniai enam orang anak; empat putra dan dua putri. Sebelum menikah dengan Idrus, Ratna Suri berkecimpung di bidang pembukuan. Ia pernah bekerja di Balai Pustaka dan pernah pula mengarang cerita anak-anak. Setelah menikah, Idrus selalu memberi semangat agar istrinya itu tetap menulis.[1]
Ketertarikan Idrus dengan dunia sastra telah dimulai semenjak ia duduk di bangku sekolah, terutama ketika di sekolah menengah. Ia banyak menulis cerpen selain juga rajin membaca roman-roman dan novel Eropa yang dipinjamnya dai perpustakaan sekolah. Minatnya itulah yang mendorongnya bekerja di Balai Pustaka. Ia bekerja sebagai redaktur majalah bahasa Melayu. Tugas itu berlangsung hingga tahun 1950. Pergolakan politik yang terjadi pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia telah memengaruhi proses kreatif Idrus, kegelisahannya dituangkan dalam karya sastra, kritik sastra, esai, sandiwara, atau ceramah-ceramah sastra.[2]

Berkaitan dengan hubungan sosiologi, sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat. Jadi, karya sastra merupakan lukisan masyarakat. Penggolongan peristiwa dalam antologi Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma dimulai dari Ave Maria dan diakhiri Ke Jalan Lain Ke Roma. Antologi ini merupakan laporan nyata dari peristiwa-peristwa yang terjadi di masa itu yang dialami oleh Idrus sendiri.
Antologi Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma secara peristiwa terbagi tiga bagian, yaitu Zaman Jepang, Corat-Coret di Bawah Tanah, dan Sesudah 17 Agustus 1945. Idrus menulis karya-karyanya dengan bahasa sehari-hari yang ringkas, sederhana, dan tanpa hiasan kata-kata. Diawali bagian pertama “Zaman Jepang” dengan cerpen Ave Maria, cerpen ini ditulis dengan gaya bahasa yang romantik.
Bagian pertama, cerpen Ave Maria dan Kejahatan Membalas Dendam. Ave Maria menampilkan kisah cinta segitiga antara Zulbahri, Wartini, dan Syamsu. Pengakuan Wartini, istrinya, yang mencintai Zul dan Syam, membuatnya merelakan istrinya pada adiknya itu. Zulbahri sendiri kemudian memilih untuk mengabdi pada tanah air dengan bergabung dengan heiho, tentara bentukan Jepang. Kejahatan Membalas Dendam menampilkan Cinta Kartili pada Setilawati membuatnya mengkhianati Ishak, sahabatnya sendiri. Sugesti dan obat-obatan yang diberikan pada Ishak membuat sahabatnya itu makin depresi. Diakhir cerita terbongkarnya kedok kejahatan Kartili yang telah berkeluarga sehingga membuat Kartili menjadi gila.
Bagian kedua, cerpen Kota-Harmoni menampilkan suasana dalam trem. Terlihat jelas dalam cerpen ini bangsa Indonesia sedang dijajah, semua orang tunduk pada Jepang. Seperti dalam kutipan berikut. “Ah, berlaga betul. Sedikit saja dikasih Nippon kekuasaan sudah begitu. Sama orang tua berani. Tetapi coba kalau orang Nippon, membungkuk-bungkuk. Bah!”.[3]
Kemelaratan tergambar jelas dalam cepen Jawa Baru, kesusahan hidup yang dialami pribumi digambarkan dengan jelas. Beras susah didapat, padahal Jawa terkenal dengan berasnya. Ini akibat beras-beras pribumi diangkuti dari Pulau Jawa ke Tokyo. Terlihat dalam kutipan berikut. “Orang Nippon itu sama saja dengan Belanda, menghapuskan harta benda kita. Ya lebih lagi dari orang Belanda, mereka memeras kita dengan muka manis.”[4]
Akibat dari kesusahan hidup yang dialami pribumi, maka mereka mencari peruntungan dari bermain judi. Seperti terlihat dalam cerpen Pasar Malam Zaman Jepang, terlihat dalam kutipan berikut.“.....ia harus meletakkan uang di atas sebuah nomor dan jika tukang putar rolet itu sudah berteriak, dengan sendirinya tangannya merogoh sakunya, dikeluarkannya beberapa helai uang kertas. Begitu berturut-turut.”[5]
Gambaran keterasingan pribumi Indonesia ditunjukan dalam cerpen Sanyo dan Fujinkai. “Sanyo itu apa. Tuan Kumico? “Tidak tahu aku. Orang sekarang memakai perkataan yang susah-susah untuk pekerjaan tetek bengek.”[6] Menunjukan keterasingan pribumi di negerinya sendiri. Kadir dan tukang es lilin yang tidak mengetahui istilah Sanyo.
“Acara rapat ini ialah meminta kemurahan hati Nyonya-nyonya, memberi ala kadarnya sejumlah uang, untuk membuat kue-kue itu. Paling sedikit seringgit setiap keluarga.”[7] Para anggota Fujinkai dipaksa mengeluarkan uang untuk modal membuat kue yang akan diberikan kepada prajurit Nippon yang sakit. Terasa sekali penjajahan yang dilakukan Jepang kepada Indonesia, para pribumi tidak bisa menolak dan harus menuruti apa yang diperintahkan.
Bagian ketiga, “Sesudah 17 Agustus 1945” Idrus banyak mengkritisi sikap rakyat Indonesia. Dalam cerpen Kisah Sebuah Celana Pendek, masyarakat Indonesia digambarkan sebagai masyarakat yang hanya menerima semua itu dengan pasrah, padahal mereka hidup di tanah airnya, tetapi kalah dengan penguasa. Mereka tidak punya keberanian melawan. Mereka pasrah pada nasib dan hanya mencoba bertahan. Tercermin dalam tokoh Kusno yang sengsara, tapi hidup bangga dengan celana 1001 made in Itali-nya.
Di dalam cerpen Surabaya, Idrus menunjukan sikap tidak pedulinya. Tercermin dalam kutipan berikut. “Orang-orang dalam mabuk kemenang..........Pemakaian pikiran menjadi berkurang, orang-orang bertindak seperti binatang dan hasilnya memuaskan.[8] kutipan di atas menggambarkan seolah Idrus tak peduli dengan keramaian revolusi. Idrus, dengan gaya prosanya yang tajam dan lugas, memberi banyak kritik dan laporan sejarah. Melalui cerpen Jalan Lain ke Roma, Idrus seperti hendak mencampurkan romantisme dalam “Zaman Jepang” dengan realisme dalam “Corat-coret di Bawah Tanah”. Tokoh utama -tokoh  dalam cerpen Jalan Lain ke Roma, yaitu Open. Ia adalah seorang yang sangat jujur dan polos. Pekerjaannya berubah-ubah, mula-mula menjadi guru sekolah rakyat, mualim, pengarang, dan kemudian jadi tukang jahit. Nilai yang terkandung dalam cerpen ini adalah nilai kehidupan, sebab cerpen ini menggambarkan segala makna berharga yang terkandung di dalamnya.



[1] Dokumen H.B Jassin
[2] Idrus. Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma. (Jakarta: Balai Pustaka, 1948), hlm. 171-172
[3] Idrus. Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma. (Jakarta: Balai Pustaka, 1948), hlm. 77
[4] Idrus. Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma. (Jakarta: Balai Pustaka, 1948), hlm. 82
[5] Idrus. Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma. (Jakarta: Balai Pustaka, 1948), hlm. 88
[6] Idrus. Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma. (Jakarta: Balai Pustaka, 1948), hlm. 92
[7] Idrus. Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma. (Jakarta: Balai Pustaka, 1948), hlm. 97
[8] Idrus. Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma. (Jakarta: Balai Pustaka, 1948), hlm. 116