Powered By Blogger

Kamis, 22 Mei 2014

(Review) Revolusioner Mas Marco Kartodikromo dalam Student Hidjo Oleh: Ratih Risnawati

Judul buku     : Student Hidjo
Penulis             : Mas Marco Kartodikromo
Penerbit           : Yayasan Bentang Budaya
Tahun terbit  : 1919
Tebal                 : 170

Mas marco lahir kurang lebih tahun 1890 di Cepu, dari keluarga priyayi rendahan. Ia memperoleh pendidikan sekolah Bumiputera angka dua di Bojonegoro dan sekolah swasta bumiputera Belanda di Purworejo. Tahun 1911 ia bergabung dengan pergerakan Serikat Islam, ia menjadi sekretaris Serikat Islam cabang Solo. Tahun 1914 ia mendirikan Inlandsche Journalisten Bond (IJB) di Surakarta dan menerbitkan Doenia Bergerak sebagai surat kabar IJB. Tahun 1915 ia dituntut oleh pengadilan akibat dari tulisan-tulisan kritis yang ditulisnya di surat kabar IJB. Setelah keluar dari penjara, ia pergi ke Belanda. Sepulang dari Belanda, ia menulis lagi artikel-artikel dengan tema keras yang disajikan ke publik, akibatnya tahun 1917-1919 ia masuk penjara kembali. Setelah keluar dari penjara, ia terjun ke politik. Tahun 1927 akibat dari aktivitas politiknya yang dikenal sebagai orang anti Belanda, ia dibuang ke Digoel dan dilempar ke Gudang Arang. Sampai meninggalnya yang berakhir tragis di Boven Digoel tahun 1932 karena malaria.
Dalam Novel ini Mas Marco menceritakan tentang sebuah kehidupan, dengan tokoh utama Hidjo. Pemuda dari kalangan priyayi rendahan yang berhasil meraih prestasi dalam sekolahnya dan bisa melanjutkan belajar ke Negeri Belanda. Sebelum berangkat ke Negeri Belanda ia dijodohkan oleh orang tuanya dengan woengoe. Namun Hidjo punya cerita lain dan digambarkan di akhir novel tersebut. Mas Marco dalam penulisan novel ini, dengan gaya layaknya wartawan, bercerita dengan rangkaian cerita maju sehingga langsung bisa dipahami.
Novel Student Hidjo ini ditulis pada saat ia di dalam penjara, dipenjara akibat dari tulisan-tulisan artikelnya yang dinilai kritis tidak bersahabat dengan kolonial. Novel ini berlatarkan Solo yang ditulis pada abad XX, masa yang dalam sejarah resmi disebut sebagai kebangkitan nasional. Sebagai karya yang lahir dimasa kolonial, Student Hidjo mengemukakan perubahan revolusioner kesadaran nasionalisme. Dengan adanya kesadaran nasional mampu menumbuhkan semangat untuk bertindak menentang penjajahan. Faktor yang memudahkan proses pertumbuhan nasionalisme itu, yakni pendidikan. Novel ini dibuka dengan keinginan ayah Hidjo menyekolahkannya ke Belanda.
“Maksud saya mengirimkan Hidjo ke Negeri Belanda itu, tidak lain supaya orang-orang yang meredahkan kita bisa mengerti bahwa manusia sama saja”.[1]
Mas Marco Kartodikromo menggambarkan kaum pribumi menjadi modern, dengan pengisahan ayah Hidjo menyekolahkan anaknya ke negeri Belanda, begitupun dengan Hidjo sebagai “student” yang beridentitas modern. Walaupun hanya anak priyayi rendahan berkat kepintarannya bisa melanjutkan sekolah ke negeri Belanda. Dengan bekal pendidikan yang tinggi akan memunculkan pemikiran bahwa mereka harus bisa melepaskan diri dari penjajahan.
“Hidjo bertanya kepada mereka, “Bagaimana kita musti berjalan Dames?
Begini, kata nyonya dan Hidjo disuruh berjalan ditengah-tengah, kanan kiri gadis-gadis itu.[2]
“Apa Tuan suka makan cara Belanda?
“Suka!” jawab Hidjo pendek sambil tertawa.[3]
“Is dit mijn brief Mevrouw?” Tanya Hidjo kepada Mamanya Betje.[4]
Di sini Marco ingin meningkatkan martabat diri masyarakat terjajah bisa setara dengan bangsa penjajah. Terlihat pada tokoh Hidjo di Belanda berusaha menyetaran diri dengan orang-orang Belanda. Mulai dari berjalan, makan, berbicara dan bergaya hidup ala Eropa.
Selain pendidikan, faktor kesadaran nasional, yakni pertumbuhan organisasi sebagai pergerakan nasional. Di mana dalam novel ini Mas Marco menggambarkan adanya pergerakan organisasi SI (Serikat Islam).
“Pukul 8, kongres dibuka. Tidak selang beberapa lama Biroe, Woengoe, Prajogo dan Wardojo mendengarkan voordracht Bestuur S.I., lalu mereka iseng-iseng melihat-lihat binatang buas yang ada di Taman Sriwedari.[5]
Tidak hanya Hidjo, Biroe, Woengoe dan Wardojo digambarkan sebagai tokoh pribumi di masa kolonial yang hidup sebagai golongan priyayi, terpelajar, cantik dan tampan. Keikutsertaan mereka dalam acara vergadering SI (Sarekat Islam), memperlihatkan novel ini adanya pergerakan organisasi.



[1] Marco, Kartodikromo. Student Hidjo. (Yogyakarta: Yayayasan Bentang Budaya, 1919), hlm. 3
[2] Marco, Kartodikromo. Student Hidjo. (Yogyakarta: Yayayasan Bentang Budaya, 1919), hlm. 26
[3] Marco, Kartodikromo. Student Hidjo. (Yogyakarta: Yayayasan Bentang Budaya, 1919), hlm. 48-49
[4] Marco, Kartodikromo. Student Hidjo. (Yogyakarta: Yayayasan Bentang Budaya, 1919), hlm. 99
[5] Marco, Kartodikromo. Student Hidjo. (Yogyakarta: Yayayasan Bentang Budaya, 1919), hlm. 130-131

Tidak ada komentar:

Posting Komentar