Judul buku : Student
Hidjo
Penulis : Mas Marco Kartodikromo
Penerbit : Yayasan Bentang Budaya
Tahun terbit : 1919
Tebal :
170
Mas
marco lahir kurang lebih tahun 1890 di Cepu, dari keluarga priyayi rendahan. Ia
memperoleh pendidikan sekolah Bumiputera angka dua di Bojonegoro dan sekolah
swasta bumiputera Belanda di Purworejo. Tahun 1911 ia bergabung dengan
pergerakan Serikat Islam, ia menjadi sekretaris Serikat Islam cabang Solo.
Tahun 1914 ia mendirikan Inlandsche
Journalisten Bond (IJB) di Surakarta dan menerbitkan Doenia Bergerak sebagai surat kabar IJB. Tahun 1915 ia dituntut
oleh pengadilan akibat dari tulisan-tulisan kritis yang ditulisnya di surat
kabar IJB. Setelah keluar dari penjara, ia pergi ke Belanda. Sepulang dari
Belanda, ia menulis lagi artikel-artikel dengan tema keras yang disajikan ke
publik, akibatnya tahun 1917-1919 ia masuk penjara kembali. Setelah keluar dari
penjara, ia terjun ke politik. Tahun 1927 akibat dari aktivitas politiknya yang
dikenal sebagai orang anti Belanda, ia dibuang ke Digoel dan dilempar ke Gudang
Arang. Sampai meninggalnya yang berakhir tragis di Boven Digoel tahun 1932
karena malaria.
Dalam
Novel ini Mas Marco menceritakan tentang sebuah kehidupan, dengan tokoh utama
Hidjo. Pemuda dari kalangan priyayi rendahan yang berhasil meraih prestasi
dalam sekolahnya dan bisa melanjutkan belajar ke Negeri Belanda. Sebelum
berangkat ke Negeri Belanda ia dijodohkan oleh orang tuanya dengan woengoe.
Namun Hidjo punya cerita lain dan digambarkan di akhir novel tersebut. Mas
Marco dalam penulisan novel ini, dengan gaya layaknya wartawan, bercerita
dengan rangkaian cerita maju sehingga langsung bisa dipahami.
Novel Student Hidjo ini ditulis pada saat ia di dalam penjara, dipenjara
akibat dari tulisan-tulisan artikelnya yang dinilai kritis tidak bersahabat
dengan kolonial. Novel ini berlatarkan Solo yang ditulis pada abad XX, masa
yang dalam sejarah resmi disebut sebagai kebangkitan nasional. Sebagai karya
yang lahir dimasa kolonial, Student Hidjo
mengemukakan perubahan revolusioner kesadaran nasionalisme. Dengan adanya
kesadaran nasional mampu menumbuhkan semangat untuk bertindak menentang
penjajahan. Faktor yang memudahkan proses pertumbuhan nasionalisme itu, yakni
pendidikan. Novel ini dibuka dengan keinginan ayah Hidjo menyekolahkannya ke
Belanda.
“Maksud saya mengirimkan Hidjo ke Negeri Belanda
itu, tidak lain supaya orang-orang yang meredahkan kita bisa mengerti bahwa
manusia sama saja”.[1]
Mas Marco Kartodikromo menggambarkan kaum
pribumi menjadi modern, dengan pengisahan ayah Hidjo menyekolahkan anaknya ke
negeri Belanda, begitupun dengan Hidjo sebagai “student” yang beridentitas
modern. Walaupun hanya anak priyayi rendahan berkat kepintarannya bisa
melanjutkan sekolah ke negeri Belanda. Dengan bekal pendidikan yang tinggi akan
memunculkan pemikiran bahwa mereka harus bisa melepaskan diri dari penjajahan.
“Hidjo
bertanya kepada mereka, “Bagaimana kita musti berjalan Dames?
Begini, kata nyonya dan Hidjo disuruh berjalan
ditengah-tengah, kanan kiri gadis-gadis itu.[2]
“Apa
Tuan suka makan cara Belanda?
“Suka!” jawab Hidjo pendek sambil tertawa.[3]
“Is dit mijn brief Mevrouw?” Tanya Hidjo kepada
Mamanya Betje.[4]
Di sini Marco ingin meningkatkan
martabat diri masyarakat terjajah bisa setara dengan bangsa penjajah. Terlihat
pada tokoh Hidjo di Belanda berusaha menyetaran diri dengan orang-orang
Belanda. Mulai dari berjalan, makan, berbicara dan bergaya hidup ala Eropa.
Selain pendidikan, faktor kesadaran
nasional, yakni pertumbuhan organisasi sebagai pergerakan nasional. Di mana
dalam novel ini Mas Marco menggambarkan adanya pergerakan organisasi SI
(Serikat Islam).
“Pukul
8, kongres dibuka. Tidak selang beberapa lama Biroe, Woengoe, Prajogo dan
Wardojo mendengarkan voordracht Bestuur S.I., lalu mereka iseng-iseng
melihat-lihat binatang buas yang ada di Taman Sriwedari.[5]
Tidak hanya Hidjo, Biroe, Woengoe dan
Wardojo digambarkan sebagai tokoh pribumi di masa kolonial yang hidup sebagai
golongan priyayi, terpelajar, cantik dan tampan. Keikutsertaan mereka dalam
acara vergadering SI (Sarekat Islam), memperlihatkan novel ini adanya
pergerakan organisasi.
[1] Marco, Kartodikromo. Student Hidjo. (Yogyakarta: Yayayasan
Bentang Budaya, 1919), hlm. 3
[2] Marco, Kartodikromo. Student Hidjo. (Yogyakarta: Yayayasan
Bentang Budaya, 1919), hlm. 26
[3] Marco, Kartodikromo. Student Hidjo. (Yogyakarta: Yayayasan
Bentang Budaya, 1919), hlm. 48-49
[4] Marco, Kartodikromo. Student Hidjo. (Yogyakarta: Yayayasan
Bentang Budaya, 1919), hlm. 99
[5] Marco, Kartodikromo. Student Hidjo. (Yogyakarta: Yayayasan
Bentang Budaya, 1919), hlm. 130-131
Tidak ada komentar:
Posting Komentar