Powered By Blogger

Kamis, 22 Mei 2014

(Review) Lukisan Kehidupan Pribumi Dalam Antologi Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma Oleh: Ratih Risnawati

Judul buku      : Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma
Penulis              : Idrus
Penerbit            : Balai Pustaka
Tahun terbit   : 1948
Tebal                  : 176
Idrus lahir pada tanggal 21 September 1921 di Padang, dari pasangan Siti Alimah dan Sutan Abdullah. Berpendidikan di HIS (Hollands Inlandse School) di Kayutanam tahun 1936. Setamat HIS ia melanjutkan ke MULO di Padang, setamat MULO ia merantau ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah di AMS (Algemene Middelbare School) tahun 1943. Tahun 1946, menikah dengan Ratna Suri. Mereka dikaruniai enam orang anak; empat putra dan dua putri. Sebelum menikah dengan Idrus, Ratna Suri berkecimpung di bidang pembukuan. Ia pernah bekerja di Balai Pustaka dan pernah pula mengarang cerita anak-anak. Setelah menikah, Idrus selalu memberi semangat agar istrinya itu tetap menulis.[1]
Ketertarikan Idrus dengan dunia sastra telah dimulai semenjak ia duduk di bangku sekolah, terutama ketika di sekolah menengah. Ia banyak menulis cerpen selain juga rajin membaca roman-roman dan novel Eropa yang dipinjamnya dai perpustakaan sekolah. Minatnya itulah yang mendorongnya bekerja di Balai Pustaka. Ia bekerja sebagai redaktur majalah bahasa Melayu. Tugas itu berlangsung hingga tahun 1950. Pergolakan politik yang terjadi pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia telah memengaruhi proses kreatif Idrus, kegelisahannya dituangkan dalam karya sastra, kritik sastra, esai, sandiwara, atau ceramah-ceramah sastra.[2]

Berkaitan dengan hubungan sosiologi, sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat. Jadi, karya sastra merupakan lukisan masyarakat. Penggolongan peristiwa dalam antologi Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma dimulai dari Ave Maria dan diakhiri Ke Jalan Lain Ke Roma. Antologi ini merupakan laporan nyata dari peristiwa-peristwa yang terjadi di masa itu yang dialami oleh Idrus sendiri.
Antologi Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma secara peristiwa terbagi tiga bagian, yaitu Zaman Jepang, Corat-Coret di Bawah Tanah, dan Sesudah 17 Agustus 1945. Idrus menulis karya-karyanya dengan bahasa sehari-hari yang ringkas, sederhana, dan tanpa hiasan kata-kata. Diawali bagian pertama “Zaman Jepang” dengan cerpen Ave Maria, cerpen ini ditulis dengan gaya bahasa yang romantik.
Bagian pertama, cerpen Ave Maria dan Kejahatan Membalas Dendam. Ave Maria menampilkan kisah cinta segitiga antara Zulbahri, Wartini, dan Syamsu. Pengakuan Wartini, istrinya, yang mencintai Zul dan Syam, membuatnya merelakan istrinya pada adiknya itu. Zulbahri sendiri kemudian memilih untuk mengabdi pada tanah air dengan bergabung dengan heiho, tentara bentukan Jepang. Kejahatan Membalas Dendam menampilkan Cinta Kartili pada Setilawati membuatnya mengkhianati Ishak, sahabatnya sendiri. Sugesti dan obat-obatan yang diberikan pada Ishak membuat sahabatnya itu makin depresi. Diakhir cerita terbongkarnya kedok kejahatan Kartili yang telah berkeluarga sehingga membuat Kartili menjadi gila.
Bagian kedua, cerpen Kota-Harmoni menampilkan suasana dalam trem. Terlihat jelas dalam cerpen ini bangsa Indonesia sedang dijajah, semua orang tunduk pada Jepang. Seperti dalam kutipan berikut. “Ah, berlaga betul. Sedikit saja dikasih Nippon kekuasaan sudah begitu. Sama orang tua berani. Tetapi coba kalau orang Nippon, membungkuk-bungkuk. Bah!”.[3]
Kemelaratan tergambar jelas dalam cepen Jawa Baru, kesusahan hidup yang dialami pribumi digambarkan dengan jelas. Beras susah didapat, padahal Jawa terkenal dengan berasnya. Ini akibat beras-beras pribumi diangkuti dari Pulau Jawa ke Tokyo. Terlihat dalam kutipan berikut. “Orang Nippon itu sama saja dengan Belanda, menghapuskan harta benda kita. Ya lebih lagi dari orang Belanda, mereka memeras kita dengan muka manis.”[4]
Akibat dari kesusahan hidup yang dialami pribumi, maka mereka mencari peruntungan dari bermain judi. Seperti terlihat dalam cerpen Pasar Malam Zaman Jepang, terlihat dalam kutipan berikut.“.....ia harus meletakkan uang di atas sebuah nomor dan jika tukang putar rolet itu sudah berteriak, dengan sendirinya tangannya merogoh sakunya, dikeluarkannya beberapa helai uang kertas. Begitu berturut-turut.”[5]
Gambaran keterasingan pribumi Indonesia ditunjukan dalam cerpen Sanyo dan Fujinkai. “Sanyo itu apa. Tuan Kumico? “Tidak tahu aku. Orang sekarang memakai perkataan yang susah-susah untuk pekerjaan tetek bengek.”[6] Menunjukan keterasingan pribumi di negerinya sendiri. Kadir dan tukang es lilin yang tidak mengetahui istilah Sanyo.
“Acara rapat ini ialah meminta kemurahan hati Nyonya-nyonya, memberi ala kadarnya sejumlah uang, untuk membuat kue-kue itu. Paling sedikit seringgit setiap keluarga.”[7] Para anggota Fujinkai dipaksa mengeluarkan uang untuk modal membuat kue yang akan diberikan kepada prajurit Nippon yang sakit. Terasa sekali penjajahan yang dilakukan Jepang kepada Indonesia, para pribumi tidak bisa menolak dan harus menuruti apa yang diperintahkan.
Bagian ketiga, “Sesudah 17 Agustus 1945” Idrus banyak mengkritisi sikap rakyat Indonesia. Dalam cerpen Kisah Sebuah Celana Pendek, masyarakat Indonesia digambarkan sebagai masyarakat yang hanya menerima semua itu dengan pasrah, padahal mereka hidup di tanah airnya, tetapi kalah dengan penguasa. Mereka tidak punya keberanian melawan. Mereka pasrah pada nasib dan hanya mencoba bertahan. Tercermin dalam tokoh Kusno yang sengsara, tapi hidup bangga dengan celana 1001 made in Itali-nya.
Di dalam cerpen Surabaya, Idrus menunjukan sikap tidak pedulinya. Tercermin dalam kutipan berikut. “Orang-orang dalam mabuk kemenang..........Pemakaian pikiran menjadi berkurang, orang-orang bertindak seperti binatang dan hasilnya memuaskan.[8] kutipan di atas menggambarkan seolah Idrus tak peduli dengan keramaian revolusi. Idrus, dengan gaya prosanya yang tajam dan lugas, memberi banyak kritik dan laporan sejarah. Melalui cerpen Jalan Lain ke Roma, Idrus seperti hendak mencampurkan romantisme dalam “Zaman Jepang” dengan realisme dalam “Corat-coret di Bawah Tanah”. Tokoh utama -tokoh  dalam cerpen Jalan Lain ke Roma, yaitu Open. Ia adalah seorang yang sangat jujur dan polos. Pekerjaannya berubah-ubah, mula-mula menjadi guru sekolah rakyat, mualim, pengarang, dan kemudian jadi tukang jahit. Nilai yang terkandung dalam cerpen ini adalah nilai kehidupan, sebab cerpen ini menggambarkan segala makna berharga yang terkandung di dalamnya.



[1] Dokumen H.B Jassin
[2] Idrus. Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma. (Jakarta: Balai Pustaka, 1948), hlm. 171-172
[3] Idrus. Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma. (Jakarta: Balai Pustaka, 1948), hlm. 77
[4] Idrus. Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma. (Jakarta: Balai Pustaka, 1948), hlm. 82
[5] Idrus. Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma. (Jakarta: Balai Pustaka, 1948), hlm. 88
[6] Idrus. Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma. (Jakarta: Balai Pustaka, 1948), hlm. 92
[7] Idrus. Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma. (Jakarta: Balai Pustaka, 1948), hlm. 97
[8] Idrus. Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma. (Jakarta: Balai Pustaka, 1948), hlm. 116

Tidak ada komentar:

Posting Komentar