Judul buku : Dari Ave Maria Ke Jalan
Lain Ke Roma
Penulis :
Idrus
Penerbit :
Balai Pustaka
Tahun terbit : 1948
Tebal : 176
Idrus
lahir pada tanggal 21 September 1921 di Padang, dari pasangan Siti Alimah dan
Sutan Abdullah. Berpendidikan di HIS (Hollands Inlandse School) di Kayutanam
tahun 1936. Setamat HIS ia melanjutkan ke MULO di Padang, setamat MULO ia
merantau ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah di AMS (Algemene Middelbare
School) tahun 1943. Tahun 1946, menikah dengan Ratna Suri. Mereka dikaruniai
enam orang anak; empat putra dan dua putri. Sebelum menikah dengan Idrus, Ratna
Suri berkecimpung di bidang pembukuan. Ia pernah bekerja di Balai Pustaka dan
pernah pula mengarang cerita anak-anak. Setelah menikah, Idrus selalu memberi
semangat agar istrinya itu tetap menulis.[1]
Ketertarikan
Idrus dengan dunia sastra telah dimulai semenjak ia duduk di bangku sekolah,
terutama ketika di sekolah menengah. Ia banyak menulis cerpen selain juga rajin
membaca roman-roman dan novel Eropa yang dipinjamnya dai perpustakaan sekolah.
Minatnya itulah yang mendorongnya bekerja di Balai Pustaka. Ia bekerja sebagai
redaktur majalah bahasa Melayu. Tugas itu berlangsung hingga tahun 1950. Pergolakan
politik yang terjadi pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia telah
memengaruhi proses kreatif Idrus, kegelisahannya dituangkan dalam karya sastra,
kritik sastra, esai, sandiwara, atau ceramah-ceramah sastra.[2]
Berkaitan
dengan hubungan sosiologi, sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat.
Jadi, karya sastra merupakan lukisan masyarakat. Penggolongan peristiwa dalam
antologi Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke
Roma dimulai dari Ave Maria dan
diakhiri Ke Jalan Lain Ke Roma.
Antologi ini merupakan laporan nyata dari peristiwa-peristwa yang terjadi di
masa itu yang dialami oleh Idrus sendiri.
Antologi
Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma
secara peristiwa terbagi tiga bagian, yaitu Zaman
Jepang, Corat-Coret di Bawah Tanah,
dan Sesudah 17 Agustus 1945. Idrus
menulis karya-karyanya dengan bahasa sehari-hari yang ringkas, sederhana, dan
tanpa hiasan kata-kata. Diawali bagian pertama “Zaman Jepang” dengan cerpen Ave Maria, cerpen ini ditulis dengan
gaya bahasa yang romantik.
Bagian
pertama, cerpen Ave Maria dan Kejahatan Membalas Dendam. Ave Maria menampilkan kisah cinta
segitiga antara Zulbahri, Wartini, dan Syamsu. Pengakuan Wartini, istrinya,
yang mencintai Zul dan Syam, membuatnya merelakan istrinya pada adiknya itu.
Zulbahri sendiri kemudian memilih untuk mengabdi pada tanah air dengan
bergabung dengan heiho, tentara bentukan Jepang. Kejahatan Membalas Dendam menampilkan Cinta Kartili pada Setilawati
membuatnya mengkhianati Ishak, sahabatnya sendiri. Sugesti dan obat-obatan yang
diberikan pada Ishak membuat sahabatnya itu makin depresi. Diakhir cerita terbongkarnya
kedok kejahatan Kartili yang telah berkeluarga sehingga membuat Kartili menjadi
gila.
Bagian
kedua, cerpen Kota-Harmoni
menampilkan suasana dalam trem. Terlihat jelas dalam cerpen ini bangsa
Indonesia sedang dijajah, semua orang tunduk pada Jepang. Seperti dalam kutipan
berikut. “Ah, berlaga betul. Sedikit saja dikasih Nippon kekuasaan sudah
begitu. Sama orang tua berani. Tetapi coba kalau orang Nippon,
membungkuk-bungkuk. Bah!”.[3]
Kemelaratan
tergambar jelas dalam cepen Jawa Baru,
kesusahan hidup yang dialami pribumi digambarkan dengan jelas. Beras susah
didapat, padahal Jawa terkenal dengan berasnya. Ini akibat beras-beras pribumi
diangkuti dari Pulau Jawa ke Tokyo. Terlihat dalam kutipan berikut. “Orang
Nippon itu sama saja dengan Belanda, menghapuskan harta benda kita. Ya lebih
lagi dari orang Belanda, mereka memeras kita dengan muka manis.”[4]
Akibat
dari kesusahan hidup yang dialami pribumi, maka mereka mencari peruntungan dari
bermain judi. Seperti terlihat dalam cerpen Pasar
Malam Zaman Jepang, terlihat dalam kutipan berikut.“.....ia harus
meletakkan uang di atas sebuah nomor dan jika tukang putar rolet itu sudah
berteriak, dengan sendirinya tangannya merogoh sakunya, dikeluarkannya beberapa
helai uang kertas. Begitu berturut-turut.”[5]
Gambaran
keterasingan pribumi Indonesia ditunjukan dalam cerpen Sanyo dan Fujinkai. “Sanyo
itu apa. Tuan Kumico? “Tidak tahu aku. Orang sekarang memakai perkataan yang
susah-susah untuk pekerjaan tetek bengek.”[6] Menunjukan
keterasingan pribumi di negerinya sendiri. Kadir dan tukang es lilin yang tidak
mengetahui istilah Sanyo.
“Acara
rapat ini ialah meminta kemurahan hati Nyonya-nyonya, memberi ala kadarnya
sejumlah uang, untuk membuat kue-kue itu. Paling sedikit seringgit setiap keluarga.”[7] Para
anggota Fujinkai dipaksa mengeluarkan uang untuk modal membuat kue yang akan
diberikan kepada prajurit Nippon yang sakit. Terasa sekali penjajahan yang dilakukan
Jepang kepada Indonesia, para pribumi tidak bisa menolak dan harus menuruti apa
yang diperintahkan.
Bagian
ketiga, “Sesudah 17 Agustus 1945” Idrus banyak mengkritisi sikap rakyat
Indonesia. Dalam cerpen Kisah Sebuah
Celana Pendek, masyarakat Indonesia digambarkan sebagai masyarakat yang hanya
menerima semua itu dengan pasrah, padahal mereka hidup di tanah airnya, tetapi
kalah dengan penguasa. Mereka tidak punya keberanian melawan. Mereka pasrah
pada nasib dan hanya mencoba bertahan. Tercermin dalam tokoh Kusno yang
sengsara, tapi hidup bangga dengan celana 1001 made in Itali-nya.
Di
dalam cerpen Surabaya, Idrus
menunjukan sikap tidak pedulinya. Tercermin dalam kutipan berikut. “Orang-orang
dalam mabuk kemenang..........Pemakaian pikiran menjadi berkurang, orang-orang
bertindak seperti binatang dan hasilnya memuaskan.[8] kutipan
di atas menggambarkan seolah Idrus tak peduli dengan keramaian revolusi. Idrus,
dengan gaya prosanya yang tajam dan lugas, memberi banyak kritik dan laporan
sejarah. Melalui cerpen Jalan Lain ke
Roma, Idrus seperti hendak mencampurkan romantisme dalam “Zaman Jepang”
dengan realisme dalam “Corat-coret di Bawah Tanah”. Tokoh utama -tokoh dalam cerpen Jalan Lain ke Roma, yaitu Open. Ia adalah seorang yang sangat jujur
dan polos. Pekerjaannya berubah-ubah, mula-mula menjadi guru sekolah rakyat,
mualim, pengarang, dan kemudian jadi tukang jahit. Nilai yang terkandung dalam
cerpen ini adalah nilai kehidupan, sebab cerpen ini menggambarkan segala makna
berharga yang terkandung di dalamnya.
[1] Dokumen H.B Jassin
[2] Idrus. Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma. (Jakarta: Balai Pustaka,
1948), hlm. 171-172
[3] Idrus. Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma. (Jakarta: Balai Pustaka,
1948), hlm. 77
[4] Idrus. Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma. (Jakarta: Balai Pustaka,
1948), hlm. 82
[5] Idrus. Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma. (Jakarta: Balai Pustaka,
1948), hlm. 88
[6] Idrus. Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma. (Jakarta: Balai Pustaka,
1948), hlm. 92
[7] Idrus. Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma. (Jakarta: Balai Pustaka,
1948), hlm. 97
[8] Idrus. Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma. (Jakarta: Balai Pustaka,
1948), hlm. 116
Tidak ada komentar:
Posting Komentar