Judul buku : Merantau Ke Deli
Penulis :
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)
Penerbit :
Bulan Bintang
Tahun terbit : 1977
Tebal : 194
Ratih Risnawati |
Haji
Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal Buya Hamka lahir pada tahun 1908
di Maninjau, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Pada tanggal 5 April
1929 Hamka menikah dengan Siti Raham dan dikaruniai 11 anak. Tahun 1973 Hamka
menikah lagi untuk kedua kalinya dengan Hj. Siti Khadijah setelah istri pertama
meninggal. Hamka memulai karier sastranya dengan tiga buah novel, yaitu Dibawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Karena Fitnah, yang semuanya terbit
sebelum Merantau Ke Deli. Semua novel-novelnya
mengangkat persoalan adat Minangkabau.
Novel
Merantau Ke Deli berlatarkan tempat ditiga
daerah, yaitu berlatarkan daerah Deli, Medan, dan Minangkabau (Padang). Latar
waktu novel ini, sesuai dengan
penciptaan novelnya sendiri, yaitu tahun 1939 sampai permulaan tahun 1940. Novel
ini mengisahkan perkawinan antar etnik Minangkabau dengan Jawa. Leman dengan
Poniem sebagai tokoh utama. Leman adalah seorang perantau Minang yang mengadu
nasib di daerah Deli dan Poniem adalah buruh dari Jawa yang datang ke Deli untuk
mengadu nasib di perkebunan besar di daerah Deli. Akibat sering bertemu, keduanya
saling jatuh cinta dan akhirnya memutuskan untuk menikah. Rumah tangga mereka
bahagia dengan modal sendiri. Konflik muncul ketika Leman dan Poniem pulang
kampung ke Minangkabau. Keluarga Leman menganggap pernikahannya belum afdal,
jika orang asli Minang belum menikah dengan sesama suku Minang. Hingga akhirnya
Leman menikah dengan Mariatun dan menceraikan Poniem.
“Memang
amat baik budinya dan pandai bergaul, tahu dia seluk-beluk adat kita”, ujar
seorang perempuan muda!
“Sudah lama dia bergaul dengan awak, tentu tahu dia
rasambesi orang awak”, jawab seorang perempuan tua yang sedang menyaukkan
periannya. “Cuma satu itu saja salahnya,”ujar perempuan tua itu. “Apa?” tanya
perempuan muda itu.“Dia bukan orang kita,”ujar perempuan tua itu.[1]
Paragraf
di atas tampaknya menunjukan bahwa lelaki Minangkabau harus menikah dengan
perempuan Minangkabau. Sekalipun Poniem memiliki budi pekerti yang baik, tetap
saja harus mau dimadu. Hamka melalui novel Merantau
ke Deli, mengkritik etnik Minangkabau yang masih memegang teguh tradisi
kuno, yaitu orang Minang asli harus menikah dengan sesama Minang. Di novel ini juga,
Hamka ingin menciptakan Indonesia yang utuh melalui pembauran antar etnik
melalui hubungan perkawinan.
Novel
ini ditujukan untuk membukakan mindset
masyarakat Minang yang selama ini memegang teguh bahwa orang Minang harus kawin
antar etnik Minang. Padahal sejatinya yang terpenting dalam perkawinan adalah
“seiman”. Perkawinan antar sesama Minang belum tentu membuahkan kebahagiaan.
Dalam novel ini, Hamka menggambarkan Mariatun sebagai tokoh yang negatif. Dia
digambarkan sebagai pemalas, suka bersenang-senang, dan sombong.
“Leman tidak cuma harus menafkahi istri dan anaknya,
tetapi juga harus menyokong kakak-adik perempuannya dan anak-anak mereka
(saudara-saudara perempuan dari sukunya).[2]
Paragraf
di atas menggambarkan tuntutan-tuntutan yang dibebankan adat kepada Leman. Dia
terus menerus berhutang sampai akhirnya terpaksa harus menjual toko serta
menjadi penjaja keliling. Keadaan Leman dengan keluarganya semakin memburuk,
tidak demikian halnya ketika Leman masih dengan Poniem hidupnya berkecukupan.
Bagi Hamka yang terpenting dalam perkawinan itu agamanya, biar berlain etnik,
asal sama-sama Islam boleh menikah. Ini membuktikan bahwa perkawinan antara
sesama Minang belum tentu menjamin kebahagiaan.
Sisi
menarik dari novel ini adalah sebagai sebuah novel yang mengemukakan pembebasan
bagi pria Minangkabau dari jeratan adat. Seorang laki-laki Minangkabau yang
menikahi perempuan dari daerahnya sendiri akan terperangkap dalam
kewajiban-kewajiban yang menuntut untuk dipenuhi. Perempuan Minangkabau
mewakili adat sangat menuntut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar