Powered By Blogger

Kamis, 22 Mei 2014

(Review) Kritik Sosial Perkawinan Sesama Etnik Minang Dalam Novel Merantau Ke Deli Oleh: Ratih Risnawati

Judul buku      : Merantau Ke Deli
Penulis             : Haji Abdul  Malik Karim Amrullah (HAMKA)
Penerbit           : Bulan Bintang
Tahun terbit  : 1977
Tebal                 : 194
Ratih Risnawati
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal Buya Hamka lahir pada tahun 1908 di Maninjau, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Pada tanggal 5 April 1929 Hamka menikah dengan Siti Raham dan dikaruniai 11 anak. Tahun 1973 Hamka menikah lagi untuk kedua kalinya dengan Hj. Siti Khadijah setelah istri pertama meninggal. Hamka memulai karier sastranya dengan tiga buah novel, yaitu Dibawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Karena Fitnah, yang semuanya terbit sebelum Merantau Ke Deli. Semua novel-novelnya mengangkat persoalan adat Minangkabau.
Novel Merantau Ke Deli berlatarkan tempat ditiga daerah, yaitu berlatarkan daerah Deli, Medan, dan Minangkabau (Padang). Latar waktu  novel ini, sesuai dengan penciptaan novelnya sendiri, yaitu tahun 1939 sampai permulaan tahun 1940. Novel ini mengisahkan perkawinan antar etnik Minangkabau dengan Jawa. Leman dengan Poniem sebagai tokoh utama. Leman adalah seorang perantau Minang yang mengadu nasib di daerah Deli dan Poniem adalah buruh dari Jawa yang datang ke Deli untuk mengadu nasib di perkebunan besar di daerah Deli. Akibat sering bertemu, keduanya saling jatuh cinta dan akhirnya memutuskan untuk menikah. Rumah tangga mereka bahagia dengan modal sendiri. Konflik muncul ketika Leman dan Poniem pulang kampung ke Minangkabau. Keluarga Leman menganggap pernikahannya belum afdal, jika orang asli Minang belum menikah dengan sesama suku Minang. Hingga akhirnya Leman menikah dengan Mariatun dan menceraikan Poniem.
“Memang amat baik budinya dan pandai bergaul, tahu dia seluk-beluk adat kita”, ujar seorang perempuan muda!
“Sudah lama dia bergaul dengan awak, tentu tahu dia rasambesi orang awak”, jawab seorang perempuan tua yang sedang menyaukkan periannya. “Cuma satu itu saja salahnya,”ujar perempuan tua itu. “Apa?” tanya perempuan muda itu.“Dia bukan orang kita,”ujar perempuan tua itu.[1]
Paragraf di atas tampaknya menunjukan bahwa lelaki Minangkabau harus menikah dengan perempuan Minangkabau. Sekalipun Poniem memiliki budi pekerti yang baik, tetap saja harus mau dimadu. Hamka melalui novel Merantau ke Deli, mengkritik etnik Minangkabau yang masih memegang teguh tradisi kuno, yaitu orang Minang asli harus menikah dengan sesama Minang. Di novel ini juga, Hamka ingin menciptakan Indonesia yang utuh melalui pembauran antar etnik melalui hubungan perkawinan.
Novel ini ditujukan untuk membukakan mindset masyarakat Minang yang selama ini memegang teguh bahwa orang Minang harus kawin antar etnik Minang. Padahal sejatinya yang terpenting dalam perkawinan adalah “seiman”. Perkawinan antar sesama Minang belum tentu membuahkan kebahagiaan. Dalam novel ini, Hamka menggambarkan Mariatun sebagai tokoh yang negatif. Dia digambarkan sebagai pemalas, suka bersenang-senang, dan sombong.
“Leman tidak cuma harus menafkahi istri dan anaknya, tetapi juga harus menyokong kakak-adik perempuannya dan anak-anak mereka (saudara-saudara perempuan dari sukunya).[2]
Paragraf di atas menggambarkan tuntutan-tuntutan yang dibebankan adat kepada Leman. Dia terus menerus berhutang sampai akhirnya terpaksa harus menjual toko serta menjadi penjaja keliling. Keadaan Leman dengan keluarganya semakin memburuk, tidak demikian halnya ketika Leman masih dengan Poniem hidupnya berkecukupan. Bagi Hamka yang terpenting dalam perkawinan itu agamanya, biar berlain etnik, asal sama-sama Islam boleh menikah. Ini membuktikan bahwa perkawinan antara sesama Minang belum tentu menjamin kebahagiaan.
Sisi menarik dari novel ini adalah sebagai sebuah novel yang mengemukakan pembebasan bagi pria Minangkabau dari jeratan adat. Seorang laki-laki Minangkabau yang menikahi perempuan dari daerahnya sendiri akan terperangkap dalam kewajiban-kewajiban yang menuntut untuk dipenuhi. Perempuan Minangkabau mewakili adat sangat menuntut.




[1] HAMKA. Merantau Ke Deli. (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 53
[2] HAMKA. Merantau Ke Deli. (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 109-110

Tidak ada komentar:

Posting Komentar